3A.M #8

2.2K 484 46
                                    

When I Close My Eyes



Dan di sinilah aku berada.
Di penghujung sebuah cerita. Kuharap setelah semuanya, dari miliaran manusia yang hidup di 'dunia', tak lagi menderita dengan cara yang seperti ini. Cukup aku yang menutup kisahnya.

Takut-takut ku lirik jam dinding yang menunjukan pukul 02.58. Sedari tadi aku tetap terjaga, tak bisa menutup mata. Sungguh aku ingin menikmati masa terakhir ku di dunia ini. Mengenang segala memori yang aku dapatkan.

Baru kali ini, malam berlalu begitu cepat. Aku ingin menahannya barang sebentar, sedikit lagi.

Pukul 3.00

Sedikit kecemasan mulai muncul. Takut ku rasakan mengenai apa yang akan aku alami sebentar lagi. Saat rasa takut menyerang memojokkan ku pada jurang kegelapan, sayup-sayup aku mendengar lantunan biola.

Jisung?
Atau Haechan?

Ingin ku cari siapa dia. Namun ku urungkan, takutnya dia akan berhenti bermain saat aku datangi. Terserah siapa dia, aku sungguh mengagumi permainannya.

Angel - Sarah McLanchan

Aku mengenali lagunya. Lagu lama klasik.

Ku tutup mata. Menikmati lagu yang seakan menemaniku ke jalan terakhir. Ku resapi setiap nadanya, pelan tapi pasti ketakutan ku menguap seraya lagu itu terus di mainkan, menghantarkan doa terakhirku pada tuhan.

Lagu itu berakhir. Berganti dengan suara mama yang meraung pada papa.

Sudah saatnya.

Pintu yang kubiarkan tidak terkunci di buka secara kasar. Mama tidak lekas masuk, hanya diam di ambangnya saja.

Mama menangis, berusaha menyadarkan papa yang berada di bawah kuasa setan, iblis, atau apapun itu. Aku ketakutan melihat topengnya. Posisiku telah terpojok sekarang. Dari balik topeng itu kudengar suara tertawa papa yang membahana.

Suara nya sedikit terdengar asing, benar itu memang bukan 'papa'.

"NO! JENO SADAR! BERHENTI SEKARANG! SIALAN KAU JENO!" Mama masih dengan usahanya, namun tak ada pergerakan.

Ku tatap dia, "Papa."

Senyuman liciknya keluar. Demi apapun aku benci itu. Sungguh.

"Aku bukan papamu." Dia menggeram.

"Pa, biarkan Lele berbicara dulu, ya? Sebentar."

"AKU BUKAN PAPAMU!" Teriak nya bertambah berang. Ah..

"Papa Jeno, kesayangan Chenle, terimakasih ya untuk setiap gelas susu yang ada di meja Lele. Kadang agak kental, kadang kemanisan, kadang juga ga berasa. Tapi tetap saja, susu buatan papa adalah favorit nya Lele."

Tatapannya melembut, namun setelahnya ia berteriak menutupi kedua tangannya.

"Papa, Lele sedih. Akhir-akhir ini papa jarang ngobrol lagi. Biasanya sepulang kantor papa akan mengingatkan peraturan pertama di rumah. Buat kumpul bersama. Papa pasti akan memulai cerita dengan pertemuan papa mama yang sama tapi Lele ga pernah bosan."

Kenangan indah. Tak akan pernah.

Aku tertawa masam, "Papa tau? Dulu aku pernah memimpikan pertemuan manis seperti itu juga terjadi padaku. Suatu hari, aku ingin mendapatkan yang seperti papa. Hebat, berani, jujur, dan penyayang keluarga."

Papa mulai menangis. "Tapi sayang pa, dia sudah mengalami ini, masa seperti ini tepat sebelum giliranku."

Jiwa aslinya yang di timpa iblis mencoba keluar ke permukaan. Benda-benda berguncang, beberapa menimpa kepala papa. Entah mengapa, muncul goresan merah di lengan dan kaki papa. Darah.

Mama mencoba mendekati kami. Tapi angin kencang menjauhkan langkahnya, menghuyungnya ke belakang, dan menutup pintu kamar ku.

Tinggal kami berdua.

Topeng papa terbuka. Wajah yang ada bukan wajah papa yang aku kenali. Ada guratan di sana. Bola matanya sungguh mengerikan, seperti hanya ada titik hitam di tengahnya.

Aku menjerit. Ketakutan. Papa kembali bangkit dan menggeram seperti hewan buas. Senjatanya kembali di angkat. Seketika aku pun terkesiap.

Tak di sangka, sebagian jiwa papa masih terus memberontak. Ingin melindungi anak mungilnya. Tetapi tetap saja iblis itu mempunyai kekuatan yang jauh lebih dominan. Papa kembali menatapku, menyeret langkahnya semakin maju.

Aku kira ini bagian menyedihkan nya. Dimana kisah seorang anak dan ayahnya berhadapan dalam sebuah peristiwa.

Dimana sang anak pasrah karena 'sesuatu', sementara ayahnya memberontak untuk tidak membunuh si anak, namun usahanya selalu gagal.

Suasana terus mencekam. Jendela terbuka dan tertutup. Angin datang begitu kencang. Awan menjadi gelap dan pusaran hitam berada di antaranya.

Iblis papa semakin berang. Pisaunya di tunjukan pada bagian dahi, ku. Ku pejamkan kedua mata. Yang terjadi malah terdengar sebuah isakan. Pisau terpelanting mengenai sebuah foto keluarga.

Aku mengerti keadaanya saat itu, "Pa.. papa tenang ya. Apapun yang terjadi Jeno ini tetap papanya Chenle. Lele ga akan benci papa. Kan papa yang bilang kalo cinta bakal menyembuhkan segalanya. Termasuk kebencian, iyakan pa?"

"Aku tidak akan apa-apa pa. Papa tidak usah mengelak lagi. Tapi satu pintaku, setelahnya, kalian harus keluar dari perumahan ini. Hiduplah dengan bahagia."

Kedua mataku tertutup.

"Aku mencintai kalian."

Dinginnya pisau menembus kerongkongan ku. Perih, namun membawa sedikit kedamaian. Akhirnya aku bisa, kita bisa, Jisung-ah.

Gajiku dong hehe:)
Gimana? Endingnya? Belum. Masih ada beberapa lagi. Stay tune.

[✓] Tiga Pagi - Chensung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang