Kamis, 05.35PM
Mobil hitam itu kini terparkir sempurna di basement apartemen tujuan mereka. Keduanya terdiam sama-sama memikirkan sesuatu. Sampai suara lelaki yang berwajah tampan itu memecah keheningan diantara mereka.
"Lo aja gih yang masuk."
Yang lebih muda mengerutkan dahinya bingung.
"Kenapa?"
"Gue langsung pulang aja."
"Gimana kalo kakak ketemu mereka lagi? Mau di keroyok terus meninggal dijalan?"
Iya juga, dia hanya sendiri sedangkan mereka? Entahlah yang pasti mereka sangat banyak. Hyunjin hanya pandai menggunakan senjata, untuk berkelahi dengan tangan kosong, Hyunjin mendapat nilai 0. Bisa mati dia jika nekat melawan mereka.
"Bilang aja lo takut sendirian, yaudah gue temenin."
Jeongin memutar bola matanya malas lalu keluar meninggalkan Hyunjin yang tertawa geli melihat ekspresi Jeongin. Hyunjin mencabut kunci mobilnya lalu turun menyusul Jeongin. Kaki panjangnya dengan cepat bisa sejajar dengan langkah kaki Jeongin yang melangkah masuk ke dalam loby.
Dalam hati Hyunjin berdoa semoga tidak ada yang mengenalinya disini. Kedua pemuda itu masuk ke dalam lift kemudian pemuda yang lebih kecil menekan angka 8. Hening, hanya ada suara kekehan Jeongin yang sesekali mengisi ruang sempit itu. Entah apa yang membuat Jeongin terkekeh, namun dirinya berhasil menularkan senyum. Buktinya lelaki bermarga Hwang itu sekarang tersenyum sambil menatap pantulan bayangan lelaki mungil di depannya ini melalui pintu lift.
Ting!
Lift berdenting menandakan mereka telah sampai dilantai tujuan mereka. Keduanya melangkahkan kaki hingga ke depan pintu bernomor 311. Jeongin langsung memasukan password apartemen Woojin dan masuk kesana di ikuti Hyunjin di belakangnya.
Lelaki bervisual diatas rata-rata itu mengedarkan pandangannya ke ruangan yang saat ini dipijaknya. Kamar bertipe studio dengan dua buah sofa berukuran kecil dan sedang, menyambut penglihatan ketika memasuki kamar itu. Di sebelah kiri terdapat sekat kaca berbingkai kayu yang membatasi tempat tidur dengan dua sofa tadi. Di belakang sofa itu di isi dengan meja bar kecil untuk membatasi ruang santai dan dapur. Di samping kiri dapur ada sebuah pintu kecil yang di yakini Hyunjin sebagai kamar mandi. Kecil tapi sangat nyaman untuk ditinggali.
Jeongin melepas sepatunya dan berjalan menuju dapur kecil disana. Mengingat mereka berdua hanya memakan masing-masing satu porsi siomay siang tadi, Jeongin langsung mencari sesuatu yang bisa di masaknya. Ditemukannya satu kaleng ikan tuna dan beberapa buah bumbu dapur yang hampir layu di kulkas Woojin. Lelaki itu pun langsung bisa memutuskan apa yang harus ia masak.
Dengan telaten tangan lentiknya meracik bumbu disana dan mencampurkannya jadi satu di dalam wajan yang berisi minyak panas. Sedangkan pemuda yang satunya? Lelaki Hwang itu sudah duduk di kursi bar sambil menopang dagunya di meja. Mata sipitnya memperhatikan objek manis didepannya yang membuatnya sesekali tersenyum.
"Jeong, tau nggak,"
Hyunjin memecah keheningan dengan bertanya random. Yang ditanya hanya berdeham pelan menanggapi.
"Tau nggak?"
"Tau apa kak?"
Jeongin menjawab Hyunjin dengan nada kesal namun masih tidak menoleh ke Hyunjin.
"Lo cantik pake baju kayak gitu,"
Hening, lelaki manis itu diam tak menanggapi membuat yang lebih tua melanjutkan perkataannya.
"Gue berasa lagi ngeliatin istri gue masak."
Hyunjin terkekeh pelan sementara Jeongin lagi-lagi tidak menanggapi yang membuat Hyunjin terdiam canggung. Tidak tahu saja Hyunjin jika lelaki manis bermata rubah itu sedang me-merah karena mendengar kata-katanya barusan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stockholm Syndrom [HYUNJEONG]
Fiksi PenggemarTentang Jeongin yang simpati kepada orang yang menculiknya dan Hyunjin yang entah kenapa tidak bisa jauh dari korban yang di culiknya. "Kakak kenapa disini? Bukannya kita udah sepakat buat lupain semua dan nggak saling kenal?" -Yang Jeongin "Nggak t...