6. Sapu Tangan dan Plaster

54 22 9
                                    

Bruuuk

Rika tertendang hingga terduduk di lantai berjarak dua meter dari tempat ia  berdiri sebelumnya. Pantatnya menyentuh lantai dengan amat keras. Mungkin tulang ekornya juga ikut terhentak. Kepala bagian belakangnya terantuk oleh bangku-bangku yang disusun tak beraturan. Itu semua sebab Fajar yang menendang perutnya dengan penuh kekuatan—yang tersisa.

Caca dan Reinaldi dengan segera menghapiri untuk mengecek keadaan Rika.

Di sisi lain Fajar sudah berhasil membuka ikatan pada tangannya. Ia berusaha kabur dari tempat mengerikan itu.

"Ahh SIALAN!!" melihat Fajar yang berhasil keluar dari gudang membuat Rika mendengus marah. Amat marah. 

Namun entah karena terpesona dengan kemarahan Rika atau karena memang mereka tak tahu harus berbuat apa, kedua konco Rika hanya diam tertegun.

"Woii... Lu bedua malah diam aja ya?"

"Ca.. Bantuin gue! Pantat gue sakit banget nih!"

"Emm iya iya." dengan sigap Caca langsung menopang Rika untuk bangkit.

"Dan lu.. Reinaldi! Inisiatif kek! Kejar lah!!" bentak Rika tak habis pikir melihat temannya yang tiba-tiba berubah jadi oon.

"Udah gue bilangin panggil gue Rein!" balas lelaki kemayu ini sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai seperti anak kecil yang sedang merajuk akibat barbie kesayangannya diambil.

Ia sangat tidak suka dipanggil Reinaldi—meski itu namanya dari lahir dan sampai sekarang ini—yang terkesan sebagai nama cowo [Lu emang cowo, bgst 😒; Acuhkan Authornya✌]
Dia lebih suka dipanggil Rein—lebih terdengar imut dan sweet. Dari masa SMP sampai detik ini, ia tidak suka menyahut dan diperintah bila dipanggil dengan nama Reinaldi.

"Gua cekek juga lo!!  Cepetan kejar dia, REIN!!" ada penekanan malas pada kata 'Rein'. Rika sudah cukup muak dengan kelakuan teman bancinya ini. Bahkan ia sampai lupa dengan rasa sakit di perut dan bokongnya.

***

Dengan kondisi yang amburadul, Fajar berlari menjauh dari gudang yang menyekapya tadi. Ia melangkah terseok-seok sambil menahan rasa nyeri di dahinya.

Gudang berada di bagian belakang sekolah yang sepi. Maka dari itu tempat ini sering  diisukan angker. Namun bagi Fajar tidak begitu angker, karena di sana juga terletak pohon cemara yang sering di sandarinya, tempat meneduhkan sekaligus tempat berbagi duka.

Fajar berlari menuju ruang OSIS yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia melihat seseorang yang dikenalnya. Dan baru mengenalnya.

"Reta!!" teriaknya dan menghampiri Areta yang sedang berbincang-bincang dengan siswa laki-laki.

"Ret, tolongin gua! Gua mau di habisi sama..."

"Kamu kenal dia Ret?" siswa laki-laki yang tadi berbincang dengan Areta memotong kalimat Fajar sambil menatapnya sinis sekaligus jijik.

Yah jijik! Pakaian lusuh sehabis membersihkan WC  dengan sedikit bercak kotor ditambah bau pakaian basah bercampur dengan bau khas darah yang mengerubunginya. Belum lagi melihat darah yang mulai mengering di dahinya yang mengundang lalat-lalat berterbangan-ria.

"Nng... Nggak! Aku gak kenal sama dia!!" awalnya Areta ragu namun melihat tatapan pacarnya—lelaki yang berbincang dengannya tadi— ia menjadi lugas dalam mengucapkan kalimat dingin itu.

Fajar tertegun menyaksikan sikap dingin Areta. Perasaannya baru sedetik yang lalu Areta memotivasinya untuk kembali ke sekolah dengan memberikan kehangatan seorang teman yang tak pernah ia dapatkan dan sedetik kemudian Areta melepaskan rangkulan hangat itu, menggantikanya dengan gelindingan batu es yang dingin. Bahkan menurut Fajar, sikap acuh-tak acuh Areta melebihi dinginnya air es yang menyerbunya dari ujung ubun-ubun hingga ujung kaki. Mengapa wanita sangat mudah berubah-ubah ya Tuhan?, batin Fajar.

Remarkable❤ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang