- ABOUT HIM - 24

662 34 0
                                    

Di dalam kelas aku masih meruntuk kesal, aku meracau tak jelas, menutupi wajahku dengan ke dua telapak tangan. Rasa malu itu masih saja kurasakan.

Tertangkap basah ...

Untuk kedua kalinya.

Ya, dua hal itu perlu digaris bawahi. Tertangkap basah ... Untuk kedua kalinya.

Aku masih dalam posisi sama hingga suara teriakan beberapa siswi di kelasku terdengar menggelegar.

"HUA! ... KUCING SIAPA SIH ITU?! "

"JAUHIN DARI GUE! ... MAMA! ... "

"HUS HUS! SANA PERGI! HUS! "

"Meaung, meaung! "

Aku mengangkat pandanganku, kupandang lurus seekor anak kucing yang sedang mengeong sambil memandang ke siswi-siswi yang sedang menaikkan kakinya di kursi atau meja untuk berusaha menghindar dari kucing kecil itu.

Seketika mataku berbinar, kucing itu sangat lucu! Aku beranjak, tanpa pikir panjang aku meraih kucing itu dan merengkuhnya ke dalam pelukanku.

"Ah! ... Lucu banget sih, yaampun! " Seruku senang sambil memandang kucing itu yang berada di gendonganku.

"LISA! JOROK IH! "

"BUANG SANA, LIS! BUANG! "

"JAUHIN DARI GUE! "

Aku menatap para siswi itu—teman-temanku—dengan tatapan tak suka.

"Apaan?! Main buang-buang! Kasihan tahu! " Ucapku kesal. Tanganku mengelus lembut kucing itu.

"Geli, Lis! Jorok! " Celetuk Eva—salah satu siswi itu—sambil menatap jijik ke arah kucing yang ada di gendonganku.

"Buang gih! " Tambah Cika.

Aku menggeleng kuat, kueratkan pelukanku ke kucing itu. "Enggak! Enggak mau! Ini tuh lucu. Gue suka! " Protesku.

Setelah itu aku membawa kucing itu ke depan kelas, tepatnya di dekat meja guru. Aku bersila di sana dan menaruh kucing itu di pangkuanku. Tak peduli lagi dengan kalimat protesan dari teman-temanku itu.

"Meaung! "

Kucing itu menggeliak, mencari posisi nyaman di pangkuanku. Aku terkekeh, tersenyum lebar memandang kucing itu.

"Lucu banget sih, ih! " Ucapku gemas sendiri.

Aku memperhatikan kucing itu, masih dengan senyumanku yang tak luntur. Hingga aku menyadari sesuatu.

'Eh? Bentar. Bukannya ini itu kucing yang ... sama dia tadi kan? '

Aku membelalak, kenapa aku baru menyadarinya? Sontak aku menoleh ke pintu kelasku, dari sini aku bisa melihat, bahwa dua orang yang tadi bermain dengan kucing ini sedang menatap ke arahku.

Ah, bukan. Satu orang sedang menatap ke arah kucing yang ada di pangkuanku, dan satu orangnya lagi sedang menatap ke arahku.

Aku menunduk, mencoba bersikap biasa saja. Memandang dan mengelus kucing yang berada di pankuanku itu seperti yang kulakukan sedaritadi.

Tapi pikiranku tak tenang, mataku selalu saja mencuri pandang ke arahnya yang kini sedang berbicara dengan temannya.

Aku membasahi bibirku, berusaha menetralkan degupan jantung yang tiba-tiba menjadi. Aku kembali memfokuskan pandanganku ke kucing itu, tapi pikiranku masih saja tertinggal oleh bayangnya.

Aku mendengus, masih terus memandangi kucing itu. "Makasih pus udah bawah dia ke depan kelas gue. Tapi gue nggak bisa ada di dekat dia, kalau gue ada di dekat dia itu ... rasanya risih, tapi ... tapi juga seneng. Gimana ya? ... Pokoknya kalau di dekat dia itu rasanya aneh gitu. Lo ngerti nggak pus? " Gumamku kepada kucing yang ada di pangkuanku itu.

"Meaung! "

Ngeoangan kucing itu kuartikan sebagai bentuk jawaban kucing yang ada di pangkuanku itu. Seakan kucing itu menjawab, 'Iya, gue juga ngerti kok'.

Aku terkekeh sendiri dengan pemikiran anehku itu, 'Gila! Curhat sama kucing ... hahaha ... ' tawaku dalam hati.

"Eh? Tapi nggak apa-apa lah. Kucingkan juga makhluk hidup, punya perasaan. " Gumamku sembari menganggukkan kepala, tanda setuju dengan ucapanku sendiri.

"So, jadi temen curhat gue mau kan pus? "

"Meaung! "

***

Brak

Aku melemparkan tasku ke sembarang arah, melepas sepatuku sembarangan, dan membanting tubuh di atas sofa.

Aku sangat kesal, sangat-sangat kesal. Tadinya aku ingin membawa pulang anak kucing yang ada di kelas tadi, tapi ... Bang Satya melarangku.

Dia bilang, "Nggak, nggak usah! Taro situ aja! Ngapain sih bawa-bawa anak kucing segala?! Ngerepotin tahu! Besokkan lo sekolah, bisa ketemu lagi. Nggak usah bawa pulang! "

Aku berdecak kesal, "Nyebelin banget sih! Kan kasihan kucingnya sendirian. Dia masih kecil, masih imut-imut, kalau kelaperan gimana? Kalau kedinginan gimana? Ish, tega banget sih bang Satya. Argh! Kesel! " Gerutuku kesal.

Aku mendengus, kalau saja tadi bang Satya masih di sini, aku akan terus mengomelinya. Sayangnya, dia sudah pulang ke rumahnya.

Ya, rumahnya sendiri. Di sini, di rumahku ini, bang Satya hanya menginap sementara, ingin main saja, jadi dia juga punya kamarnya sendiri di rumah ini. Begitupun denganku yang mempunyai kamar sendiri di rumah bang Satya dan kapan saja bisa menginap di sana.

Aku mengerucutkan bibirku sebal, masih memikirkan nasib anak kucing itu di sekolah. Tapi kedua sudut bibirku terangkat, merekah begitu saja saat mengingat senyumannya tadi.

Bagaimana lembutnya saat dia mengelus anak kucing itu, bagaimana telatennya dia saat mengajak anak kucing itu bermain. Aku masih sangat mengingatnya, sangat membekas di ingatanku.

Tanpa sadar aku sudah berkhayal tinggi tentangnya. Tentang bagaimana nanti saat aku dan dia bermain dengan kucing itu di taman, kejar-kejaran, dan tertawa bersama-sama.

"Ah, senangnya! " Seruku tanpa sadar. Yang kemudian jadi menggelengkan kepala, berusaha menyadarkan diri agar tak berharap terlalu tinggi.

Tapi senyumanku masih tak hilang, justru makin lebar, hingga menjelma menjadi tawa yang keras.

"Hahaha ... Astaga! Kalau kayak gini caranya gue bisa gila beneran! " Ucapku sambil berusaha meredakan tawaku. Entahlah, saat membayangkan senyumannya itu ... rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku. Geli. Hingga membuatku tertawa-tawa sendiri.

"ASTAGHFIRULLAH, SASA! ... INI KENAPA RUMAHNYA BERANTAKAN KAYAK KAPAL PECAH GINI SIH?! "

Aku terlonjak kaget saat mendengar teriakan menggelegar itu. Dengan segera aku berdiri, menatap mama yang sedang berkacak pinggang dengan cengiran khasku. Setelah itu tanpa membereskan tas dan sepatuku yang berserakan, aku segera berlari ke atas, ke kamarku sambil berteriak,

"MAAF, MA! NANTI AKU BERESIN! MAU MANDI DULU! "

"BERESIN DULU, SASA! AWAS KAMU YA! "

"IYA MAMA SAYANG! NANTI DULU YA! MUACH! "

_________________________________________________________

Moga kalian suka, maaf kalau ceritanya pendek. Dan maaf kalau masih banyak typo-nya.

Dan semoga aku bisa lanjutin cerita ini sampai selesai. Amin...

Jangan lupa VOTE and COMMEN ya!
Follow my IG : @alungputri_06

💞HAPPY READING💞

ABOUT HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang