GL 4 - Bunda Qian

19.3K 1.8K 209
                                    

GL 4. Bunda Qian

🍁🍁🍁
Ada banyak hal yang tak bisa kita mengerti.
Termasuk saat semesta memasang teka-teki.
-Winka.


Pagi hari merupakan waktu yang sangat dinanti karena hanya di saat inilah suasana segar dan minus polusi masih terasa. Jika mentari telah beranjak lebih tinggi, asap kendaraan bercampur asap rokok dan polusi lainnya siap menguar menyesakkan dada para pengguna jalan raya. Hal yang membuat gadis yang mengendarai motor scoopy putih miliknya itu malas jika harus keluar di siang hari.

Lima belas menit perjalanan dari komplek perumahannya, gadis dengan blazer dan rok panjang senada itu menghentikan laju motornya. Tepat di parkiran gedung berwarna hijau dan kuning yang telah menjadi tempatnya mengabdi hampir lima tahun belakangan. Netra bulatnya memperhatikan sekitar, suasana parkiran belum terlalu ramai. Para Bunda dan orang tua yang biasa mengantar putra-putri mereka baru terlihat satu per satu yang datang.

Setelah mengunci motor dan memastikan kendaraan miliknya itu aman. Qian melangkah menyapa satpam yang sudah berjaga di sana. Sebelum masuk ke dalam ruangan milik para pengajar PAUD/TK di Bina Ilmu yang terletak di lantai dasar.

"Assalamu'alaikum," sapanya pada dua orang yang mengenakan seragam hijau daun sepertinya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, Qi." Meta yang lebih dulu menjawab salamnya, sedangkan Bunda Inne mengikuti kemudian.

Qian menuju mejanya yang terletak di sebelah meja Meta. Sahabatnya yang juga mengajar di sini setelah mereka lulus sarjana lima tahun lalu. Hanya Cici yang sekarang merantau di Jakarta karena sejak awal, sahabat Qian satu itu memang mengambil jurusan yang berbeda dengan keduanya. Cici saat ini bekerja di salah satu perusahaan multinasional di sana dan menyebabkan mereka sangat jarang bertemu.

"Jadwal kelas apa hari ini?" tanya Meta masih asyik dengan sarapannya.

Qian melirik sejenak, merapikan peralatan yang akan dipakainya di kelas nanti. "Kelas B," jawabnya.

"Hm ... ketemu si cantik Ael," ujar Meta dengan kerlingan jahil pada sahabatnya. Membuat Qian tergelak karenanya. "Arael kayaknya makin dekat sama kamu, ya, Qi. Gak heran, sih, kamu dijulukin Bunda-nya Ael di sini." Kini Meta sudah menutup kotak makannya dan menghadap pada Qian.

Gadis yang ditanyainya mengangguk pelan. "Dia seringnya dijemput sama sopir. Papa dan Mama-nya sibuk makanya aku suka nemenin dia nunggu sopirnya datang. Kasihan aja kadang liat dia ngeliatin temen-temennya yang dijemput orang tua mereka. Tapi hebatnya, aku gak pernah liat Ael sedih karena itu, dia selalu bisa senyum kalau aku tanya dia sedih apa enggak," ucap Qian.

"Serius? Gimana dia jawabnya?"

Qian menatap pintu ruangan yang terbuka dengan senyum simpulnya, bersedekap membayangkan ucapan gadis kecil yang sangat lucu menurutnya. Si kecil yang selalu mengikutinya jika gadis itu sedang tak bermain bersama teman-temannya yang lain. Dengan sendirinya, Qian sangat menyayangi Arael seperti gadis kecil itu menyukainya.

"Aku pernah tanya, "Ael sedih gak kalau Papa dan Mama gak bisa jemput?" Dia menggeleng dan tersenyum padaku. Dia bilang, "Ael gak sedih, kok, Bunda. Papa sama Mama-nya Ael sibuk karena Mama dan Papa, kan, doktel. Jadi, Mama dan Papa punya banyak pasien. Tapi setiap sabtu sama minggu, Ael selalu diajak jalan-jalan, kok, sama meleka." Gitu katanya," jelas Qian dengan netra berbinar.

Meta yang mendengarnya ikut kagum dengan penuturan yang diberikan Qian. "Dia tau pekerjaan orang tuanya, makanya dia gak menuntut banyak. So proud of her. Padahal dia baru empat tahun," katanya.

Bunda Inne yang duduk di dekat mereka ikut mengangguk. Perempuan lebih tua tiga tahun dari dua gadis itu tersenyum mendengar diskusi rekannya. "Terkadang kita sebagai ibu yang bekerja, memang harus memberi pengertian pada anak-anak seusia mereka. Tetapi jangan pula mengabaikan permintaannya. Contoh baiknya seperti yang orang tua Arael lakukan, mereka memang tidak bisa mengantar Arael setiap hari, tetapi mereka mengganti ketiadaan mereka itu dengan weekend bersama anak mereka. Hal seperti itu tidak akan membuat anak-anak merasa diabaikan oleh orang tuanya. Sibuk itu ada waktunya, tetapi jangan sampai melupakan kewajiban kita sebagai orang tua," jelasnya membuat Qian dan Meta mengangguk setuju.

Greatest Love ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang