Hati yang Bicara

210 42 18
                                    

Mengagumimu dari jauh...
Menyayangimu dari jarak yang tak kunjung temu...
Saya, telah menetapkan hati untuk memilihmu...

***

Selepas kegiatan survei ke kota Bogor kemarin, niatnya malam ini Nayya ingin menyampaikan sesuatu pada kedua orang tuanya. Dan ini menyangkut pernikahannya dengan Fakhri.

Setelah pergulatan batin semalam, perempuan itu sudah memantapkan hatinya dalam memutuskan keputusan yang mungkin akan membuat dirinya maupun keluarga kecewa.

"Bun, maafkan Nayya..."

Terlihat Ayah Ilham dan Bunda Jihan menatap putri satu-satunya itu dengan khawatir. Mereka berdua sebenarnya tahu, apa yang akan disampaikan oleh Nayya.

Bunda Jihan berkata, "ada apa 'nak?"

"Bun, Yah... Nayya ingin membatalkan ta'aruf dengan Fakhri." Nayya mengatakan itu dalam sekali hentakkan.

Ayah Ilham sampai berdiri dari duduknya. "Apa maksudmu?! Kamu nggak sadar atau gimana? Kamu udah nggak bisa memutuskan ini, Nayy. Kenapa nggak bilang dari awal sebelum kamu dikhitbah?" bentaknya karena refleks.

Nayya menundukkan kepalanya menahan tangis, dan Bunda Jihan tahu itu. Dengan cepat beliau merengkuh putrinya ke dalam pelukan. "Sabar Yah... jangan membentak seperti itu. Kita dengarkan penjelasan anak kita dulu."

"Ayah, bunda... Nayya tau ini salah. Tapi, Nayya nggak mau melangsungkan pernikahan bukan dengan pilihan Nayya. Dari awal Nayya udah menolaknya tapi Ayah memaksa dan bilang kalau ini permintaan Nenek..."

"... Nayya udah coba menerimanya dan berusaha untuk baik-baik aja. Tapi, Nayy nggak bisa terus-terusan bohongin hati Nayy." Nayyara menangis sesegukan dan membuat hati Bunda Jihan merasa teriris.

Tanpa berkata-kata, Bunda Jihan memeluk Nayyara dengan erat dan menepuk pelan punggungnya. "Istighfar 'nak..."

Dengan isyarat mata dari Bunda Jihan, Ayah Ilham menekan egonya dan mengembuskan napas berat lalu duduk kembali. Beliau hanya tak ingin putri semata-wayangnya itu menjadi gunjingan banyak orang karena membatalkan khitbah laki-laki lain, dan itu pamali.

Dirasa percuma, Ayah Ilham memutuskan untuk meninggalkan Bunda Jihan dan Nayyara berdua. Beliau memilih menenangkan diri sebelum bicara dengan putrinya itu lagi. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat, karena beliau dilanda rasa emosi yang berlebihan.

Selepas kepergian Ayah Ilham. Barulah Bunda Jihan mencoba bicara pada putrinya itu dari hati ke-hati. Melepaskan pelukan, Bunda Jihan berkata, "ceritakan sama bunda. Sebenarnya apa yang terjadi?" Beliau menyeka air mata yang masih tersisa di pelupuk mata Nayyara.

Perempuan dengan hijab segitiga warna abu-abu itu menghela napas pelan, guna mengontrol diri. Dirasa sudah lebih baik, barulah dia bicara. "Maafin Nayya, bun. Pernikahan ini Nayya yang akan menjalani kan? Nayya nggak mencintai Fakhri. Walaupun kami berteman tapi Nayya..." Dia menjeda ucapannya lalu kembali menangis.

"Sayang... dengarkan bunda." Bunda Jihan menggenggam erat kedua tangan Nayyara. Terlihat sorot mata yang begitu kasihan pada putrinya itu tapi apa yang dilakukannya tidak benar.

"Bunda tau, maafkan bunda untuk hal ini. Tapi, kamu sudah dikhitbah dan menentukan tanggalnya nak. Kecuali kamu masih dalam masa ta'aruf, itu bisa dibatalkan."

Jafar | Na Jaemin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang