Perang Perasaan

255 59 24
                                    

Aku bukan merindukannya. Tapi, rindu momen saat bersamanya dulu.

***

"Jaf, kenapa diem aja?" tanya Annas mendapati Jafar tengah melamun di gazebo.

Tepatnya kemarin Jafar, Annas, Azzam, Daffa, Nayya dan yang lainnya tiba di pedalaman kabupaten Bogor. Rencananya mereka akan menyelesaikan urusan sebelum merealisasikan acaranya. Dan mereka baru saja menyelesaikan salat maghrib di masjid terdekat.

Jafar sengaja menjauhkan diri dari anggota yang lain. Kebetulan mereka semua sedang istirahat di perkampungan tersebut. Bukan maksud Jafar ingin melalaikan tanggungjawabnya sebagai anggota tapi dia butuh menjernihkan pikirannya. Sebab dia tak tahan dengan kedekatan Nayyara dan Fakhri.

Ya, Fakhri tiba-tiba hadir di sana saat pagi tadi. Alasan ingin membantu, tetap saja Jafar tak suka. Namanya juga hati, siapa yang tahu selain diri sendiri? Dan Jafar sepertinya cemburu. Ralat, bukan sepertinya tapi memang iya.

"Lagi nyari angin, Nas," jawab Jafar sekenanya.

Annas duduk di samping Jafar. "Ngapain angin dicari, 'kan udah berembus dengan sendirinya."

"Yaudah pengen liat bintang kalau gitu, Nas."

"Terserah lo, Jaf. Gue tau lo nggak suka 'kan ada Fakhri? Atau bete karena sendirian? Sedangkan sang mantan gebetan sama pasangannya?" tebak Annas dengan tepat.

Jafar menoleh dan menautkan kedua alis matanya. "Sok tau!"

"Lah, bener 'kan? Mana bisa ente boongin ane, Jaf! Liat tuh idungnya makin mancung," sahutnya ngasal.

"Terserah antum, Nas. Eh yang lain udah pada istirahat ya? Ada kegiatan lagi nggak? Kalau nggak, saya mau nyari warung."

Annas antusias dan beranjak dari duduknya. "Gue ikut! Mau ngopi 'kan? Ayoklah."

"Ayo. Eh tapi perlengkapan buat nanti udah selesai?" tanya Jafar.

Menggedikkan bahu. "Nggak tau, ane dari masjid langsung ke sini jadi nggak sempet ke mereka dulu."

"Ya udah ke rumah pak lurah dulu deh, abis itu baru ke warung." Jafar beranjak dari duduknya dan melangkahkan tungkainya menuju rumah pak Lurah, diikuti oleh Annas.

Sementara itu, di depan rumah Pak Lurah Nayya sedang bergerak gelisah. Seharusnya dia menyiapkan segalanya dengan teliti. Tapi, dia melupakan sesuatu dan membuatnya menjadi bingung.

Kalau dipikir lagi, Nayya akan menikah seminggu lagi 'kan? Tapi kenapa harus ikut acara seperti itu? Bukannya lebih baik diam di rumah dan mempersiapkan segalanya? Sebenarnya itu yang ada di pikiran Jafar. Apakah Jafar boleh egois sekali ini saja? Dengan menanyakan bagaimana perasaan Nayya padanya? Sebab, sejak saat itu... Jafar tidak mendapatkan kepastian atas perasaannya.

"Lo kenapa Nay?" tanya Lily --sahabat Nayya.

Kebetulan Nayya dan Lily merupakan panita, jadi mereka berdua ikutserta dalam acara survei ini. Lily daritadi sibuk dengan urusannya, tapi gelagat Nayya membuat Lily menjadi penasaran.

Nayya membisikkan sesuatu pada Lily. "Ly, kamu bawa roti jepang nggak?"

"Hah? —oh, yaampun... kirian apa. Gue nggak bawa Nay. Mau gue beliin di warung?" usul Lily.

"Nggak usah Ly, aku aja sendiri nggak apa-apa. Tapi warungnya di mana ya? Aku belum keliling desa ini soalnya."

"Itu lho, lo lewatin pemukiman di ujung sana dan tinggal lurus aja nanti keliatan kok ada warung kecil gitu," jelas Lily. "Mau gue anterin?" lanjutnya menawarkan bantuan.

Jafar | Na Jaemin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang