Part 8 (Aku Benci Pikiranku!)

102 26 13
                                    

"Kenapa?" Niyo bertanya. Seketika menyadarkanku dari bisu keterkejutan.

Aku kemudian menelan ludah sambil menunjuk pada kakinya, "Apa itu baik-baik saja?"

Tentu aku sangat penasaran karena sebelumnya dia masih terlihat kesakitan saat terakhir kali kulihat semalam.

Niyo berjalan menghampiriku dengan masih sedikit tertatih, tetapi senyum di wajahnya seolah menjelaskan kalau semuanya sudah baik-baik saja.

"Aku rasa begitu. Setelah meminum obat dan makan ikan, lukaku jadi cepat membaik."

Aku manggut-manggut meski masih sulit percaya melihatnya berjalan tanpa kruk. Sekarang dia tampak setinggi Stuart. Dengan sedikit perbedaan pada aura Niyo yang berkesan lebih elegan, sementara Stuart sebaliknya.

"Jadi bagaimana, kamu mau kutemani ke sekolah?" Niyo bertanya untuk kembali membuatku tersadar.

Aku berhenti menatap kakinya dan ganti menatap wajahnya yang pagi ini benar-benar ramah. Mungkin dia sudah lupa kalau semalam kami hampir saja terlibat adu argumen.

"Tapi hari ini kamu masih ada janji dengan Dokter Carl. Sekolahku cukup jauh dan aku tidak bisa membiarkanmu jalan kaki menemaniku ke sana dalam kondisimu yang baru saja pulih. Lagian, aku akan pulang sore."

"Jadi kamu menolak tawaran baikku?" Niyo setengah membungkuk berusaha mensejajarkan tinggi kepala kami, tetapi dengan posisi ini malah membuatku dag-dig-dug tak menentu dan mulai berpikiran macam-macam. Jadi aku menjauh secepat yang kubisa lakukan.

Aku mundur membuat jarak aman.

"Bukannya menolak. Aku hanya tidak mau terjadi hal buruk dan disalahkan kalau sesuatu yang buruk itu benar-benar terjadi padamu."

"Lalu apa itu artinya  ... kamu berharap sesuatu yang buruk terjadi padaku?"

Aku menepuk jidat. Entah dia memang bebal dan tak memahami maksud baikku atau hanya sengaja ingin mengujiku, yang pasti dia berhasil membuatku kehabisan kata-kata. Dan aku sangat bersyukur saat akhirnya mendengar suara lantang Stuart memanggilku dari luar, "Moneeett  ...!"

Itu pertolonganku!

Aku mengacungkan jariku canggung menunjuk arah pintu. "Aku akan pergi dengannya saja, dia bawa sepeda," kataku, yang segera disusul perasaan tak enak hati karena mendadak ekspresi wajah Niyo berubah muram. Jadi aku menyanggupi akan mengizinkannya menemaniku lain waktu ketika kakinya sudah sembuh benar. Lalu segera berlari keluar karena aku sudah terlambat.

*

Berkat Stuart yang jenius tetapi pemalas dan labil, kami akhirnya benar-benar terlambat dan dihukum membersihkan perpustakaan. Jangan berpikir kalau Stuart akan bertanggung jawab melaksanakan hukuman sesuai janjinya di telepon. Alih-alih membantuku menyapu atau membersihkan buku-buku dari debu, dia malah duduk memandori dari atas meja dan mengamatiku sambil mengulum lolipop rasa stroberi.

"Yang di atas sana masih terlihat berdebu dari sini." Dia mulai rusuh.

Aku berpura-pura tak mendengar dengan terus melanjutkan arah bersih-bersihku di sisi lain, tahu-tahu aku merasakan sesuatu menimpukku.

Memang tidak keras atau menyakitkan, namun tetap saja menjengkelkan saat aku melihat potongan kapur tulis yang dilemparkan Stuart mengenai paha sebelah kananku sebelum menggelinding ke bawah kaki.

Delphos (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang