Part 23 (Bebas!)

81 21 7
                                    

Ini kali pertama aku melihat senyum kembali mengembang di wajah kakek semenjak aku pulang dari rumah sakit. Dan kutandai pula sebagai pertama kalinya bagiku kembali merasa hidup setelah beberapa waktu dikungkung perasaan hampa pasca kepergian Niyo dan Stuart.

Kupikir, aku harus sangat berterima kasih kepada Pak Wowor sebab dia menjadi salah satu pemberi angin segar setelah Dokter Carl. Jadi, aku mengeluarkan selusin persediaan sarden yang ditinggalkan mama sebelum dia kembali ke Jakarta untuk kuberikan padanya. Lalu menambahkan tiga ekor ikan cakalang berukuran sedang yang belum kuolah. Siapa tahu saja, nanti Pak Wowor ingin menikmatinya selagi mentah untuk memuaskan sisi hewaninya.

"Wah-wah, ke mana kamu akan membuang semua persediaan makanan kita ini?" Kakek memeriksa bawaanku sebelum berangkat sekolah. Dia terdengar senang dengan senyum kelegaaan yang terus mengembang meski menyaksikanku menguras isi lemari dapurnya.

Kukatakan sejujurnya, tanpa ada satu bagian pun kusembunyikan. Sebab aku sudah belajar dari pengalaman kemarin untuk mulai bersikap terbuka kepada kakek, karena kini akhirnya aku mengerti kalau dia begitu peduli dan juga terlihat paling sedih saat aku sakit kemarin.

Pasca kejadian yang tak kuingat namun membuat orang-orang berpikir aku akan bunuh diri itu, kakek terus menyalahkan dirinya lantaran merasa tidak becus menjagaku. Dia mengatakan pada mama agar membawaku kembali ke Jakarta, dan itu semua terjadi karena keegoisanku yang memilih menutup diri dalam perasaanku yang carut-marut pasca kepergian Stuart, tanpa memikirkan bahwa kakek juga ikut sedih melihatku terpuruk.

Aku kemudian merangkul tubuhnya sambil menyandarkan kepalaku manja ke bahunya. "Kakek tidak keberatan, kan?"

Kakek terkekeh. "Tentu saja tidak. Memberi makan pada orang kelaparan adalah hal yang bagus. Mengapa aku harus marah?"

"Benar juga. Tidak ada alasan untukmu marah. Lagian kita tidak pernah tahu Pak Wowor akan tinggal di sini sampai kapan. Jika Niyo segera kami temukan dan mau melepaskan segelnya, kita akan kehilangan satu lagi tetangga. Jadi kita harus baik padanya sebelum dia pergi."

"Aku senang kamu menjadi lebih ceria seperti biasanya."

"Kalau saja Kakek menceritakan siapa itu Dokter Carl lebih awal, aku pasti tidak akan seperti kemarin. Aku sangat bersyukur dia akhirnya mau terbuka padaku."

"Tidak semua rahasia harus diceritakan. Terkadang kamu harus mengalami satu dua hal tak menyenangkan untuk dapat menemukan jawaban dari sebuah rahasia yang ingin kamu ketahui."

Dan akhirnya aku menerima hasil kekalahan adu argumenku pagi itu. Bukan untuk sekadar menyenangkan kakek, tetapi karena aku sadar ucapannya memang benar. Aku melewati hari dengan semangat menantikan datangnya malam. Lalu kembali keluar.

Pak Wowor menjemputku ke rumah pukul 22.00 malam, dan aku tak perlu menyelinap lagi karena kakek merestui kepergian kami untuk meronda di sekitar pantai. Aku membawa rantang penuh makanan dan tikar, lalu sebuah lampu petromak portable. Tak ubahnya orang mau pergi piknik di tengah malam. Namun setibanya di pantai, Pak Wowor justru tak mengizinkanku menyalakan lampu karena dia bilang, itu akan menakuti Niyo.

"Dia tidak tahu siapa yang sedang menunggunya di pantai, mungkin dia akan mengira kita sebagai orang jahat dan tak jadi naik."

Aku menurutinya tanpa protes. Dan kami menunggu sambil makan camilan udang goreng di bawah langit malam. Pak Wowor dengan senang hati mau menceritakan tentang kebiasaan Stuart jika di rumah untuk membunuh bosan selama menunggu. Dan aku harus berusaha menahan gelak tawaku saat mengetahui hal-hal lucu yang menjadi aib rahasia Stuart.

Sampai akhirnya, Pak Wowor mendadak berhenti bercerita dan mengisyaratkan supaya aku berhenti tertawa. Telunjuknya menunjuk ke arah lautan. Dari sana, samar-samar aku bisa melihat kemunculan sirip abu-abu mendekati pantai.

Delphos (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang