Part 20 (Rahasia Galeri Stuart)

75 19 7
                                    

Aku bergidik sembari beranjak berdiri, memutuskan untuk sebaiknya tidak membayangkan apa pun mengenai air dalam jacuzzi itu. Seperti misalnya membayangkan tubuh Stuart yang berubah jadi ikan ketika nyemplung ke dalam sana.

Uh, menyeramkan.

Sekali lagi aku menggeleng. Memukul kepalaku sesekali waktu manakala pikiran mengerikan itu tetap saja berkelebat di kepala. Kemudian aku mengalihkan atensi dari jacuzzi dengan berjalan ke meja belajar.

Aku memilah setiap buku pelajaran Stuart dan mengambil salah satunya secara acak untuk nanti kuklaim sebagai milikku di depan Pak Wowor jika kepo dan bertanya, tapi perhatianku tak sengaja ikut menangkap ponsel Stuart yang tergeletak di tepi meja dan menggoda insting detektifku untuk kembali bekerja. Bukan sebuah kebiasaan yang lazim mengetahui Stuart meninggalkan rumah tanpa membawa serta ponsel berharganya.

"Apa kamu sudah menemukan bukunya?" Teriakan Pak Wowor terdengar mengejutkan dibarengi suara pintu depan yang terbetik dibuka.

Aku menelan ludah dan segera memasukkan ponsel Stuart ke dalam tas sekolahku sebelum mengiyakan panggilannya dan bergegas keluar. Namun, ketika aku baru membuka pintu kamar, sosok keberadaan Pak Wowor yang berdiri tepat di depan sana sontak membuatku terpekik histeris dan terlonjak mundur beberapa langkah saking terkejutnya.

Betapa tidak, dia yang sebelumnya kukira masih berada di ruang tamu, atau setidaknya tidak akan mendatangiku sampai ke sini, tahu-tahu sudah mewujud lengkap dengan segenap aura mengerikan yang selalu melingkupinya di depanku. Siapa yang tidak akan kaget?

"Maafkan aku karena tidak tahu Anda ada di sana," serampangku belepotan sambil mengusap dada, meski sebetulnya aku sadar bukan aku yang semestinya minta maaf di sini. Aku melakukannya lantaran tak ingin dianggap tidak sopan kepada sosok yang lebih tua, itu saja.

Tidak ada tanggapan kudengar. Tetapi Pak Wowor menyeringai dan masuk ke dalam kamar yang refleks membuatku kembali melangkah mundur. Oke, sekarang pikiranku semakin kesulitan untuk melihat sisi positif dari pria ini. Dia membuatku semakin ketakutan.

"Aku akan pergi sekarang," pamitku berusaha terdengar senormal mungkin, tak ingin dia sadar kalau aku ketakutan. Tetapi dia seolah-olah tak menyetujui itu dengan menghadang langkahku yang hendak menuju luar. Aku menelengkan kepala sambil mengangkat alis kanan sebagai isyarat tanya. Aku sudah tak bisa mengeluarkan suaraku lagi tanpa akan terdengar gemetar sekarang, jadi ini upaya terkahir yang kubisa tunjukkan untuk bertahan.

"Mengapa harus buru-buru?"

Saat mendengarkan Pak Wowor mengatakan itu, mata jelalatanku tak sengaja fokus ke mulutnya dan baru sadar kalau dia memiliki gigi tak manusiawi. Dia memiliki geligi menyerupai gigi hiu dan itu cukup sukses untuk menyempurnakan ketakutan beserta pikiran negatifku terhadapnya. Aku bahkan tak bisa menyembunyikan gemetar di kedua lututku di bawah sana.

"Karena aku tidak ingin terlambat ke sekolah." Aku menjawab sambil melihat kakinya. Dan kembali terkejut-ngeri karena ternyata di sela-sela jarinya memiliki selaput layaknya kaki bebek. Jadi dia pasti bukan manusia normal. Apa dia benar-benar jelmaan hiu sebagaimana yang kupikirkan?

"Kurasa tidak ada lagi yang perlu kita sembunyikan di sini, bukankah begitu?" Bicaranya, senyumannya. Semuanya mengerikan.

"Maksud Bapak?" Aku kembali mundur saat dia maju sambil menyeret langkahnya.

Delphos (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang