Part 6 (Drama Makan Malam)

121 32 5
                                    

Aku selalu kehilangan kesempatan untuk membuat diriku terkesan baik di depan Niyo. Dan aku tak bisa menunjukkan kekesalanku pada Stuart karena sekarang aku benar-benar terabaikan.

Kakek meninggalkan rumah tanpa sempat makan malam setelah Paman Dozer memintanya membantu memeriksa kapalnya yang bocor. Dan sekarang hanya ada kami bertiga di rumah, menikmati makan malam yang tiba-tiba menjadi ajang adu tatapan seteru antara Stuart dan Niyo. Tanpa aku mengerti masalah apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya.

"Kalian satu kelas?" tanya Niyo setelah cukup lama saling adu tatapan dingin dengan Stuart.

Aku hampir menghabiskan satu ekor makerel ukuran sedang di piringku, melirik pada Stuart yang bergeming, dan mengiyakan setelah tak kunjung mendengar jawaban darinya. Niyo mengangguk dan ganti menatapku.

Wajahnya berubah ramah saat melihatku, membuatku kembali tersipu-sipu. Sungguh, aku penasaran dengan alasan kenapa aku jadi terkesan gampangan begini di hadapan Niyo?

"Temanmu ini tinggal di mana?" tanya Niyo padaku.

Aku mengerjap sambil melirik Stuart sekilas. Dia masih memperlihatkan wajah tak ramah, menghancurkan ikan di piringnya dengan garpu, mengalahkan tingkah anak kecil yang sedang merajuk pada orang tuanya dan tak mau makan. Aku menelan ludah sedikit ragu sebelum menjawab, "Di sekitar sini."

"Apa aku boleh mampir ke sana kapan-kapan?" Niyo harusnya menanyakan itu pada Stuart, tapi dia malah terus menatap padaku. "Kalau kakiku sudah sembuh." Dia menambahkan.

Kurasakan sesuatu menendang kakiku di bawah meja. Untungnya aku tak sampai mengumpat.

"Katakan padanya, aku tidak menerima tamu di rumahku." Stuart berbicara padaku, tanpa mengalihkan perhatiannya dari ikan.

Aku tahu seseorang yang menendangku adalah dia. Dan aku bersumpah kalau lebih memilih diabaikan daripada diperlakukan seperti ini. Para lelaki ini kenapa sih?

Alih-alih mengiyakan perintahnya, aku pun balas menendang kaki Stuart dan membuatnya mengaduh lebay seolah-olah aku sudah mematahkan kakinya.

"Kamu kenapa, sih, arogan banget!" Dia meringis sambil mengusap-usap tulang keringnya. Padahal yang kutendang mata kakinya. "Sakit sekali, tahu!"

"Dasar ratu drama," olokku. Tanpa ingin menggubrisnya, aku kembali menatap Niyo yang bengong memandangi tingkah kami. "Kamu sudah dengar jawabannya, kan?"

Niyo mengangguk.

Aku ikut mengangguk. "Jadi, aku rasa tidak ada alasan buatmu untuk mengunjunginya lain waktu. Stuart tidak pernah membukakan pintu untuk tamu, karena dia bukan orang yang menyenangkan. Tidak seorang pun di sini tertarik mengunjunginya."

"Bagaimana dengan orang tuanya?"

"Kau ini tidak tahu etika ya?" Stuart menyambar pertanyaan Niyo dengan nada yang tak lagi berusaha sopan. Malah kelewat berlebihan. Dia bangkit dan membanting garpunya ke piring hingga terdengar kami seperti sedang di medan pertengkaran. "Apa kita dalam hubungan yang akrab untuk saling bertanya ini dan itu?"

Aku menghela napas panjang sambil memejamkan mata sejenak. Harusnya aku memberi tahu Niyo sebelumnya untuk tidak bertanya sejauh itu. Sejak dulu, Stuart paling tidak suka membicarakan keluarganya. Dan aku tidak bisa menahannya untuk tetap tinggal sampai menyelesaikan makan malam karena Stuart langsung angkat kaki setelah menutup mulut.

Delphos (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang