Part 17 (Lumba-Lumba Yang Menggigitku)

91 26 9
                                    

Aku masih hidup.

Berkat seekor lumba-lumba perak berukuran sangat besar yang datang dari arah kiri dan membawaku dengan cepat berenang ke permukaan laut, akhirnya aku terselamatkan.

Dan di saat yang sama, semua hal perlahan menjadi samar-samar dalam pandanganku. Kupikir, aku memang benar-benar melihat lumba-lumba perak itu menyelamatkanku. Tetapi begitu mataku kian terbuka lebar, aku sadar kalau semua tadi pasti cuma mimpi karena sekarang aku malah melihat wajah Stuart tengah berada tepat di depan mataku, menyeringai licik dan ceria seperti Stuart yang selama ini kukenal.

"Mooo-nett," sambutnya jail dengan memperpanjang pelafalan o dari namaku.

Sementara aku masih berusaha menormalkan emosi dan mengumpulkan setiap lapis kesadaranku yang tercerai berai di dalam setengah sisa mimpiku, aku hanya mengerjap dan menajamkan pandang yang masih belum stabil ke sekitar. Menunggu hingga semua normal. Barulah kemudian aku kembali menoleh Stuart yang masih kudengar cekikikan di atasku.

"Hanya beberapa menit saja aku mengirimmu ke sana, dan kamu tidak berhenti memanggil namaku," ocehnya tengil lalu menyentil keningku sebagaimana hal yang sering dilakukannya, "bagaimana bisa kamu berpikir kalau lebih menyukai Niyo dibandingkan aku, kalau kenyataannya nama yang kamu panggil dalam bawah sadarmu adalah namaku?"

Aku masih membisu sambil melirik kakinya. Posisi Stuart bikin aku salah paham. Kukira tadinya dia setengah menelungkupiku atau benar-benar menindihku. Rupanya dia hanya berjongkok di sebelahku dan menundukkan wajahnya hingga sangat dekat denganku.

Dia kembali menyentil keningku sebelum aku sadar. "Dasar. Berpikiran kotor lagi, ya?"

Kali ini aku mengerang dan langsung mendorong wajahnya menjauhiku sampai aku bisa duduk tanpa menyerempet secuil pun bagian wajahnya. Dan aku benar-benar terkejut. Sungguh-sungguh terheran menemukan diriku berada di tengah lautan. Di atas kapal cepat milik kakek.

"Tempat ini ...?"

"Tempat pertama kali kita bertemu." Stuart menukas di sisa gelak tawanya.

Sejujurnya ada hal lain yang mau aku tanyakan. Namun, mendengarnya mengatakan itu malah membuatku jadi penasaran dan menoleh. Aku tak pernah merasa bertemu dengannya di sini. Jadi apakah mimpi tadi ...

"Tidak mungkin." Aku menutup mulutku sambil menatap Stuart horor. Lelaki itu masih saja tersenyum tak beres. Senyum yang selalu tersungging sebelum Stuart bertingkah jail. Namun, kali ini dia hanya melumat bibir bawahnya dan membuang muka ke laut dengan wajah malu-malu tanpa diwarnai adegan menjitak atau mencubit gemas pipiku.

"Apa pun yang tadi kamu lihat, semuanya benar," katanya.

"Memangnya kamu tahu tadi aku mimpi apa?"

"Itu bukan mimpi." Stuart memandangku lagi. Tatapannya sudah berubah, tak lagi jail dan sebaliknya, dia terlihat cemas akan sesuatu. "Aku memperlihatkanmu pada masa lalu. Sebelum kita bertemu."

"Tapi tadi kamu sudah sedewasa ini.  Bagaimana mungkin itu adalah masa lalu?" Pikiranku masih tak  percaya kalau dia benar-benar tahu apa yang kulihat dalam ... entah apa pun itu, jika memang bukan mimpi.

Stuart duduk selonjor dan memperhatikan kedua tangannya yang dia mainkan. Aku turut meliriknya dan baru menyadari betapa cantik dan lentik jari-jari yang dimiliki Stuart selama ini. Tak seperti jari tanganku yang pendek dan ruas tengahnya lebih menonjol dibandingkan ruas lainnya. Lalu aku menyadari kalau dia sedang menatapku, jadi aku segera mengungsikan perhatianku ke arah lain, berpindah jauh menatap lautan di depanku. Berusaha menemukan kenyamanan duduk di saat tubuh kami sedikit terayun oleh gelombang laut. Semoga aku tidak muntah.

Delphos (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang