Part 21 (Dokter Carl?)

77 20 14
                                    

Tolong kembalilah ....

Pikiran itu membangunkanku, dan kudapati wajah mama tengah tersenyum hangat, mengusap keningku sembari duduk di samping ranjang. Aku tak ingat sejak kapan dia ada di sini dan masih berusaha mengingat di mana sekarang aku berada.

Lalu, kulihat penampakan Dokter Carl yang menjulang tinggi di belakang punggung mama. Dia turut tersenyum saat menyambutku. Sampai muncul pertanyaan dalam benakku, ada reunian apa ini?

"Kenapa aku melihat kalian?" Harusnya aku bertanya apa yang terjadi, tapi terlambat menyadari kalau yang keluar malah pertanyaan lain.

Aku bermaksud mengusap wajahku yang entah mengapa terasa menebal seolah-olah sudah beberapa hari tidak dicuci, dan mendapat jawaban tak kalah mengejutkan dari seperangkat jarum dan selang infus yang kulihat menancap di pergelangan tangan kiriku.

Aku urung mengusap wajah dan memperhatikan tanganku sejenak. Jadi entah apa pun yang terjadi padaku sebelumnya, pada akhirnya itu membuatku berakhir di rumah sakit.

"Jadi, bagaimana kabarmu hari ini?" Dokter Carl maju untuk memeriksaku setelah menggeser posisi mama. Tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya.

Dia masih pria menawan seperti saat pertama aku bertemu dengannya sewaktu merawat Niyo. Namun begitu mengingat hari itu, tiba-tiba hatiku rasanya kembali sakit luar biasa. Aku marah tapi tidak tahu kepada siapa aku harus melampiaskan kemarahanku.

"Santailah. Jangan dibikin tegang." Dokter Carl mengedipkan sebelah matanya sewaktu menempelkan stetoskop ke dadaku. Aku setengah terjengit dan hampir salah paham, terutama setelah senyumnya yang lembut menyusul terkembang dibarengi tutur kata yang syarat makna, "Kurasa kita perlu ngobrol santai setelah tugasku memeriksa semua pasien selesai."

Aku ingin menjawab tak usah, tapi aku lekas sadar bahwa dia tidak melontarkan tanya melainkan pemberitahuan. Ini artinya aku tak diberi pilihan untuk menolak dan tak mungkin menolak permintaan seorang dokter yang hanya ingin ngobrol denganmu. Mama pasti akan bersikeras mengiyakan ucapan Dokter Carl seandainya aku nekat mengatakan tidak.

Jadi, kubiarkan mama mengantarnya keluar kamar usai memeriksaku.

"Apa kamu lapar atau ... mau Mama ambilkan minum?" Mama memberondongku setelah kembali masuk.

Wajahnya masih menyisakan kecemasan meski kelegaan mulai terbit di sudut-sudut bibirnya yang terus tersenyum sejak aku membuka mata.

Awalnya aku tak yakin apakah aku lapar atau haus, tapi aku tetap mengangguk setelah melihatnya mengangkat botol air mineral yang sudah dibuka dan dicemplungi sedotan. Sekali lagi, hatiku terasa sakit hanya karena melihat sedotan itu. Sedotan sialan ini hanya membuatku kembali teringat pada Niyo si pembenci sedotan.

"Nggak usah pakai sedotan," pintaku sambil berusaha beranjak duduk, mengantisipasi paksaan mama sebelum dia memberikan berbagai macam alasan agar aku tak memprotes soal sedotannya.

Aku harus bisa duduk dengan benar agar dapat menyelamatkan diri dari paksaan minum pakai sedotan. Meski tak kupungkiri kalau kepalaku rasanya masih berdenyut-denyut pusing kalau dipakai banyak gerak. Apalagi badanku yang ikutan manja dan lemas. Keduanya membuatku harus berusaha keras hanya untuk bisa duduk.

"Seharusnya kamu minumnya sambil baringan saja dulu. Kamu baru siuman."

"Aku nggak apa-apa," sanggahku keras kepala.

Mama menghela napas dan kembali duduk di kursi yang tadi didudukinya sebelum sempat digeser Dokter Carl. Dan mulai menatapku dengan gaya yang tak pernah kusukai. Tatapan dari seorang wanita yang terlalu mengkhawatirkan keadaanmu di saat kamu sedang berusaha ingin terlihat baik-baik saja. Itu menyebalkan.

Delphos (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang