Part 15 (Amarah Stuart)

123 25 19
                                    

BHUG!

Ciuman kami terpisah oleh hantaman bogem Stuart yang disasarkannya ke wajah Niyo. Stuart mengumpat, mengabaikan teriakanku dengan langsung menjawat kerah kaos Niyo dan menyeretnya menjauh sebelum kembali menghujaninya dengan serangkaian serangan fisik hingga bertubi-tubi. Memaksaku segera mengakhiri keterkejutanku dan bangkit untuk melerai.

"Hentikan, Stu!" Aku meraih punggung kemeja biru Stuart dan berusaha menariknya menjauhi Niyo, tapi peganganku selalu luput dan merosot karena Stuart terus bergerak agresif.

"Stu, kendalikan emosimu!" pekikku kembali dengan frustrasi setelah Stuart selalu menepiskan tanganku yang berusaha untuk menariknya menjauh. Dan lagi, Niyo juga sangat menjengkelkan karena dia sama sekali tak berusaha melawan Stuart di saat aku berusaha setengah mati menolongnya.

Bukannya aku berharap mereka benar-benar berkelahi dan saling pukul, tetapi paling tidak, jika melawan, Niyo tidak akan terluka lebih parah dari sekarang yang sudah mimisan dan semakin babak belur.

"Aku menjaganya dari kecil agar tidak kotor oleh tangan lelaki mana pun. Berani-beraninya kau menyentuh calon permaisuriku. Kau harus mati di tanganku!"

BHUG!

Merasa kewalahan dan tak sanggup lagi melerai, akhirnya aku hanya bisa menangis sambil terus memukuli punggung Stuart agar menghentikan serangannya yang membabi buta, mengingat kondisi Niyo benar-benar sudah hancur. Lelaki itu sampai tidak bisa bangun lagi dan hanya terbatuk-batuk sambil menyemburkan ludah bercampur darah.

"Hentikan, Stu. Kamu bisa membunuhnya. Hentikan, kumohon jangan memukulnya lagi!" omelku di sela isakan. Dan sekali lagi, Stuart menepiskan tanganku.

Dia benar-benar kesetanan. "Tidak ada seorang pun boleh menyentuhnya karena dia adalah milikku!"

Aku terhempas mundur—dan hampir tersuruk ke pasir setelah kibasan terakhir yang kuperoleh dari Stuart
—saat berusaha menghalau tangannya yang hendak meninju Niyo lagi.

Lalu kudengar kakek berteriak dari kejauhan, "Delphin! Hentikan, Delphin!"

Suara itu berulang beberapa kali dan semakin mendekat. Meski aku tahu kakek bukanlah lawan yang sulit untuk dijatuhkan Stuart seandainya dia benar-benar berniat menyerang kakek nantinya karena berani ikut campur, namun ajaibnya, Stuart mendengarnya.

Bogem yang tadinya sudah siap dia tinjukan dan mungkin akan mengakhiri kesadaran Niyo sepenuhnya jika sampai mendarat di wajahnya sekali lagi, pun tertahan di udara. Meski Stuart tidak langsung melepaskan Niyo, tetapi entah bagaimana aku tahu kalau dia tidak akan pernah lagi menghadiahkan kepalan itu kepada Niyo.

"Stuart Delphin!" panggil kakek sekali lagi dengan nada ditekan di setiap katanya. Kakek masih ngos-ngosan di sampingku untuk mengambil napas. Dan aku segera menyambutnya dengan mengusap-usap punggungnya yang basah dibanjiri peluh hingga menembus pakaiannya. "Hentikan, ini sudah cukup. Dia adikmu, bukan?"

"Dia sudah berani menyentuh Monett-ku." Stuart menjawab dengan suara menggeram. Tidak sedikit pun mengalihkan tatapan tajamnya dari sosok Niyo yang entah masih sadar atau pingsan sekarang, aku kehilangan keberanian untuk melihat wajahnya sejak kali terakhir melihatnya mutah darah. Kurasa aku bisa pingsan kalau melihatnya berlama-lama.

Kakek menghela napas panjang untuk menandai akhir upayanya menyetabilkan napas sebelum menolehku penuh tanya. Membuatku nyaris tersedak ludahku sendiri dilanda kekhawatiran. Bagaimana mungkin aku membuat pengakuan kepada pria yang dipercayai oleh orang tuaku untuk menjagaku, bahwa aku sudah dicium tamu asing yang menumpang di rumahnya sejak beberapa waktu terakhir. Bahkan belum ada sebulan Niyo tinggal di rumah kami, aku sudah berani membiarkannya berbuat sejauh itu padaku.

Delphos (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang