Part 7 (Kejutan Pagi!)

109 30 7
                                    

Kakek tidak menggunakan alat komunikasi jarak jauh selain telepon rumah, jadi aku menuliskan memo dan menempelkan di depan pintu kamarnya sebelum meninggalkan rumah. Di dalam rantang yang kubawa sudah terisi nasi dan beberapa ikan makerel untuk Stuart, dan aku keluar tanpa mengatakan apa pun pada Niyo yang sudah kembali bersembunyi di kamarnya.

Dalam sejarah pertemanan kami, ini akan menjadi kunjungan pertamaku malam-malam ke rumah Stuart dan sejujurnya, aku merasa agak ngeri saat melihat bapak-bapak bertubuh jangkung dan berwajah dingin yang berpakaian serba hitam menyambutku. Sebelumnya aku tidak pernah tahu seperti apa wajah tetangga Stuart yang selama ini selalu menemaninya setiap malam. Tetapi kalau benar ini orangnya, aku akan lebih baik tidur sendirian jika menjadi Stuart.

"Stuartnya ada?" tanyaku yang hanya sekilas memandangnya lalu mengalihkan tatap mengintip ke dalam rumah melalui celah tubuhnya yang menghalangi pintu.

Pria itu menggeleng, dan mengatakan kalau Stuart sedang keluar untuk makan malam di rumah temannya dengan suara serak seperti perokok berat. Tapi aku tidak mencium sisa bakaran tembakau dari udara yang terembus sewaktu dia bicara. Alih-alih, bau amis ikan yang menguar dari mulutnya.

"Ya, tadi dia memang datang ke rumahku. Tapi dia pergi sebelum sempat makan. Jadi, bisakah aku menitipkan ini pada Anda?" Aku menjelaskan sambil menunjukkan rantangku.

Butuh beberapa menit hanya untuk menunggunya mengangguk setuju, sampai kakiku pegal berdiri. Setelah dia menerima rantangku, aku langsung pamit pulang. Dan tak sengaja mendengarnya mengerutu sendiri setelah aku meninggalkannya beberapa langkah; "Jadi dia orangnya  ...."

Hal itu tak pelak membuatku kembali berhenti dan menoleh. Tapi pria itu sudah setegah jalan masuk kembali ke dalam rumah, dan aku terkejut lantaran baru menyadari kalau kakinya berjalan pincang.

*

Setiba di rumah, aku melihat kakek sudah pulang dan sedang menikmati seduhan kopi dingin yang sudah kusiapkan semenjak sore tadi. Tanpa mengucap salam atau menyapanya, aku mendahulukan kegiatan dengan menuang air ke dalam gelas dan meneguknya sampai habis sambil berdiri. Dan perbuatanku sudah pasti memicu kakek untuk berkomentar, "Minum sambil duduk, Monett. Apa gurumu tidak memberi tahu kalau minum sambil berdiri bisa merusak ginjalmu?"

Seperti itulah kakekku menjalani kehidupannya. Dia selalu berhati-hati dan teliti. Hingga terkadang aku bertanya-tanya mengapa dia tidak menjadi guru saja alih-alih penyedia jasa layanan mengangkut turis berkeliling perairan atau membawa mereka ke pulau seberang.

Aku menyeret kursi dan duduk di depannya, tak ingin mengomentari nasihatnya.

"Kakek mengenal bapak-bapak yang selama ini menemani Stuart?" tanyaku mengalihkan topik.

Kakek menatapku sejenak seperti bertanya-tanya mengapa aku tiba-tiba bertanya. Dan kuputuskan untuk menjelaskan sebelum dia benar-benar bertanya. "Aku habis dari rumah Stuart mengantarkan makanan, seperti yang kutulis di memo tadi. Dan aku hanya bertemu dengan bapak-bapak berwajah dingin menakutkan itu."

"Pak Wowor?"

"Wowor?" Pft.... Aku nyaris tak bisa menahan tawa geli saat berusaha mengulang menyebutkan namanya. Itu kedengaran cukup lucu dan aneh di kupingku. Tetapi karena kakek terlihat biasa saja ketika mengataknnya, jadi kuanggap kalau nama itu masih cukup normal untuk dimiliki seseorang dan aku tidak semestinya tertawa.

Delphos (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang