bagian 1 ; bingung

24 2 0
                                    

Banting tulang siang malam itu memang sudah kewajiban. Berusaha sekuat tenaga demi sebutir nasi itu memang sudah menjadi keharusan. Apalagi bagi seorang laki-laki yang akan memiliki keluarga dan dimintai pertanggungjawaban, entah itu soal uang ataupun kebahagiaan.

Hal yang sama tentu dilakukan juga oleh seorang Narendra Pramana Yudha. Putra tunggal Bapak Sadewo Yudhistira dan Ibu Sasmita Tunggadewi itu sudah memulai pekerjaannya sebagai staf divisi akunting di usia muda. Saat ini Narendra bekerja di perusahaan yang bergerak pada bidang makanan dan minuman kemasan.

Pada usianya yang ke 27 tahun-tahun ini- Narendra harus menerima kenyataan bahwa dirinya masih memegang status jomlo alias tidak memiliki pasangan. Dua tahun yang lalu Narendra berniat menikahi seorang gadis bernama Jatayu Mariana. Satu tahun menjalani kisah cinta, sayangnya takdir tidak berpihak pada keduanya. Jatayu hamil dan bukan bersama Narendra. Marah? Jelas. Kecewa? Tidak usah ditanya. Narendra benar-benar hancur dan satu bulan penuh ia habiskan untuk memperbaiki dirinya. Patahan hatinya kini sudah ditambal sedikit demi sedikit walau kadang jika diingat kembali rasanya Narendra ingin mati. Mencintai kemudian dikhianati. Kau tau? Rasanya seperti dihujam ribuan belati.

Setelah hari-hari itu Narendra tidak pernah lagi mencari pasangan hidup. Hatinya seolah-olah beku dan nyaris tidak tersentuh. Ibu Sasmita bahkan sudah berulang kali mengingatkannya untuk mencari istri, sayangnya Narendra terlalu batu dan memilih untuk menyibukkan diri.

Padahal, Narendra sudah mapan. Ia sudah beli rumah dan punya mobil. Tabungannya juga sudah memadai. Tetapi, lagi-lagi Narendra tidak mau bergelut bersama perasaan berdebar itu lagi. Sudah terlampau kecewa dalam hati.

"Narendra besok saya ambil cuti, kamu yang gantikan saya meeting sama Pak Budiman. Ok?" tiba-tiba sebuah suara berat menyapa Narendra yang tengah bercumbu dengan komputer berisikan angka itu.

"Saya pak?" tanyanya heran. "Iya kamu. Memang yang namanya Narendra di divisi akunting siapa lagi selain kamu?"

"Kenapa bukan Bara aja, Pak?" pria tadi menggeleng. "Bara sudah ada tugas sendiri, begitu juga dengan yang lain. Sudah, tidak usah protes! Berkasnya nanti kamu ambil diatas meja saya, ya. Saya mau cuti sama istri," kemudian pimpinan menyebalkan itu melenggang masuk kembali ke ruangan dengan wajah sombong.

Narendra mendengus kesal. Mentang-mentang dirinya tidak ada pasangan, mengapa orang-orang jadi sering melimpahkan beban kepadanya sih? Menyebalkan sekali.

"Oh satu lagi, Narendra," tiba-tiba Pak Syarif kembali ke hadapan pria yang memiliki tahi lalat di pelipis itu.

"Iya, Pak?"

"Besok kamu berangkat sama Selby. Tidak ada protes ya. Selamat bekerja," tanpa rasa bersalah pria 46 tahun itu kembali masuk.

Narendra mengacak-acak rambutnya gemas. Mengapa harus dengan Selby si judes itu sih? Kenapa tidak bersama Guntur yang lebih pendiam? Atau mungkin dengan Nayla saja yang lebih bersahabat. Mengapa harus Selby si perawan tua yang lumayan menyebalkan itu. Meskipun sudah bertahun-tahun bekerja di divisi akunting, tetap saja Narendra tidak begitu akrab dengan Selby.

"Ndra," tiba-tiba Selby muncul di hadapan pria itu.

Narendra menghela nafas kemudian menyahut namun dengan fokus kearah komputer, "hm?"

"Semua berkas lu yang bawa, ya. Gua gak bisa, takut kelupaan besok. Soalnya gua juga harus nyetor data ke Suryo. Ok?" Narendra bisa apa selain mengangguk? Ia hanya memasrahkan semua pada Tuhan, semoga saja otaknya tidak pecah sampai esok hari.

Kerja oh kerja.

[]

Narendra tiba dirumah dengan wajah sekusut pakaian yang belum disetrika-bahkan mungkin lebih kusut daripada itu. Bapak Sadewo yang baru saja pulang dari kantor cukup terheran-heran melihat penampakan sang anak yang bak orang tidak mandi dua hari dua malam itu.

"Ndra, kamu mandi gak sih sebelum kerja?" yang ditanya hanya mengangguk. "Kok lemes gitu loh. Kayak mayat hidup,"

"Bapak gak ada kerjaan lain selain nyinyirin anak sendiri, Pak? Narendra capek nih, kepala Narendra rasanya mau pecah," ungkap pria itu.

Bapak Sadewo tertawa kecil. "Lagakmu, Ndra. Baru juga masalah kerjaan, belum masalah rumah tangga. Kamu itu cepet-cepet cari istri sana biar ngerasain segernya pulang kerumah meskipun capek seharian," kemudian beliau pergi ke dapur sembari bersiul.

"Jomlo seumur hidup itu gak baik loh, Ndra," teriak Bapak Sadewo tak lama kemudian.

Narendra mendengkus. Pria itu kemudian masuk ke kamarnya dan melepaskan pakaian serta melemparkan tubuhnya keatas kasur. Bisa dibilang hari ini cukup buruk bagi Narendra. Entahlah dengan esok hari, semoga saja lebih baik lagi.

Narendra tertidur tidak lama kemudian. Ketika ia terbangun, ia lantas menyadari bahwa dirinya belum mandi sepulang dari kantor. Pria itu melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Bergegas lelaki itu membersihkan diri lalu menuju dapur.

"Narendra?" pria itu menoleh dan mendapati sang ibu tengah berdiri di belakangnya sambil membawa sebuah buku.

"Kenapa, Bu?" wanita itu mendekat dan menyerahkan buku yang ia bawa kepada Narendra. "Bacalah, nak. Ibu enggak tau itu akan berfungsi buatmu apa enggak, tapi buku itu sangat berharga. Ibu hanya mau berbagi sama kamu karena kamu anak ibu. Jangan tanya apapun hal yang membingungkan soal mengapa ibu memberikan buku ini padamu, karena jawabannya ada dalam dirimu. Paham?"

Narendra mengernyitkan dahinya. "Maksud Ibu?"

Wanita itu undur diri tanpa menjawab pertanyaan Narendra. Pria itu kemudian meletakkan buku tersebut sementara ia makan. Ia cukup penasaran dengan isinya namun Narendra tidak berani membuka itu sembarangan. Narendra yakin bahwa buku ini pasti sakral. Ada maksud tertentu yang Ibu Sasmita ingin sampaikan pada Narendra dan pria itu diminta mencari jawabannya seorang diri.

Tapi, tunggu dulu. Ada yang aneh dengan semua ini. Apakah Narendra diminta menelusuri kata per kata dalam kalimat buku usang ini? Adakah sesuatu yang tidak Narendra ketahui dan ia diminta mendapatkan jawabannya sendiri?

Kulacino [Very Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang