bagian 6 ; berpikir

15 2 0
                                    

Mungkin Narendra adalah satu dari sekian banyak orang yang tengah berlibur. Namun, sepertinya hanya Narendra seorang dari sekian banyak manusia itu yang memilih melakukan perjalanan liburan seorang diri. Terbukti dari pandangan lelaki itu, ia hanya melihat rombongan atau pasangan. Tidak ada yang sendirian.

Narendra bukannya tidak bisa bergaul, ia hanya malas buka suara dan berkenalan dengan orang baru. Kendati demikian, jauh dalam lubuk hati Narendra ia berharap ada satu orang yang bisa dengan sihirnya—mungkin— membuat laki-laki itu berhenti bungkam.

Narendra lalu duduk di tepian pantai sembari memotret sesekali menggunakan kameranya. Laki-laki tersebut bahkan membuat video sinematik yang rencananya akan ia edit selama beberapa hari kedepan. Ya, setidaknya selama liburan ini hobi sinematografi dan fotografi yang ia punya jadi bisa terlaksana dengan baik setelah sekian lama.

Narendra tidak tau orang-orang berpikir apa soal ia yang seorang diri duduk di tepian pantai sambil mengarahkan kameranya kesana kemari. Narendra tidak tertarik untuk tau soal itu.

Hingga senja datang, saat itulah Narendra terfokus penuh pada pengambilan gambarnya. Ia memotret berkali-kali hingga surya benar-benar tenggelam menyambut sang malam.

Narendra tidak langsung pulang ke hotel setelah itu, ia lalu memutuskan duduk di salah satu kedai kopi di sekitaran pantai. Ada berbagai macam kopi disana yang Narendra tebak berasal dari seluruh Indonesia atau mungkin penjuru dunia.

Sang barista pun dengan cepat menyodorkan menu yang tersedia. Sambil meracik kopi, barista tersebut pun mulai mengajak Narendra berbicara. Kebetulan kedainya sedang sepi pengunjung. "Sendiri aja, mas?"

Meski enggan mengakui kenyataan yang sepahit kopi itu, Narendra akhirnya mengangguk. "Iya mas,"

"Masnya wisata ya disini?" lagi-lagi Narendra mengangguk. "Iya mas. Lagi mau penyegaran soalnya selama ini sibuk kerja terus,"

Barista didepannya itu terkekeh, "buat modal nikah ya, mas?"

Narendra agak tertohok tapi tidak urung mengangguk. "Nikah itu tanggung jawabnya besar, mas. Banyak manis pahitnya,"

"Mas udah nikah?" Narendra menatap sang barista dengan pandangan penuh tanya.

"Sudah, mas. Sejak umur 18 tahun malahan," katanya sambil terkekeh sendiri kemudian menggeleng pelan.

"Loh? Cepet amat," komentar Narendra. "Saya lalai, mas. Gak bisa jaga nafsu saya,"

"Maaf," agak sedikit menyesal dan sesak ketika barista tersebut melafalkan kalimatnya. Sembari mengelap meja, lelaki itu kemudian berucap, "kebodohan yang pernah saya sesali, dulu. Tetapi sejak anak kami lahir dan memiliki kehidupan seperti pasangan pada umumnya, banyak sekali pengajaran yang saya terima hanya dari ikatan ini, mas,"

Tertarik dengan pembahasan tersebut, Narendra lantas semakin gencar bertanya. "Contohnya?"

"Contohnya ketika kita lelah, kita merasa lelah itu hilang seketika sewaktu pulang melihat anak istri menunggu kita. Rasanya, semua yang kita kerjakan dan membuahkan kesenangan bagi mereka adalah sebuah kebahagiaan untuk kita juga. Ketika kita sangat senang, betapa indahnya ketika bisa membagikan kebahagiaan itu dengan orang tersayang. Saya jadi merasa benar-benar ‘pulang’ ke rumah," barista itu kemudian menyeduhkan kopi yang dipesan lelaki itu.

"Kalau udah punya modal dan ada calonnya, baiknya disegerakan aja, mas," tutup barista itu sambil tersenyum jenaka.

[]

Narendra memutar-mutar bolpoinnya diatas meja. Pria itu sedang mencanangkan program baru untuk diterapkan di dirinya selama dua tahun kedepan. Satu tahun sudah mainstream katanya, jadi ia pikir langsung saja dua tahun.

Sembari menikmati kopi dari kedai yang ia kunjungi tadi, Narendra mulai menuliskan apa-apa saja yang harus ia lakukan; mulai dari pekerjaan sampai dengan pasangan. Yah, pasangan memang sudah masuk dalam listnya kali ini.

Meskipun terdapat banyak kebingungan dan pergolakan batin yang dirasakan cowok itu, program yang ia tulis tetap saja rampung. Narendra meregangkan otot-otot tubuhnya kemudian berjalan ke jendela besar yang menghadap langsung ke pantai.

Sejauh mata memandang Narendra dapat menangkap siluet puluhan orang yang berkumpul sambil berpegangan tangan satu sama lain membentuk lingkaran. Mereka sepertinya tengah bermain sebuah permainan karena beberapa menit kemudian seseorang terlihat menggaruk kepala lalu berlari-lari dan setelahnya langsung push up. Narendra pikir mereka adalah anak-anak sekolahan yang berangkat bersamanya kemarin karena beberapa wajah mereka terlihat familiar.

Saat melihat sekumpulan remaja itu, Narendra jadi tersentak tiba-tiba; ia benar-benar sudah tidak lagi muda. Usianya sudah 27 tahun bahkan remaja-remaja itu sudah memanggilnya om. Diusia seperti ini, seharusnya Narendra tengah menikmati malam bersama sang istri atau bermain bersama anak mereka yang baru belajar berjalan. Sayang, semua itu baru angan-angan.

Narendra menghela nafas, lelaki itu teringat akan omongan sarkastik dari Bapak Sadewo tempo hari. Perasaan tidak enak menjalar di hatinya, seharusnya Bapak Sadewo dan Ibu Sasmita sudah menimang cucu sekarang.

Narendra menutup gordennya kemudian berjalan ke tempat tidur. Satu minggu ini akan ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya sebelum kembali berkutat dengan tumpukan berkas. Malam itu Narendra tidur dengan perasaan gamang.

Kulacino [Very Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang