bagian 5 ; permohonan

19 2 2
                                    

Dentingan pesan masuk yang sedari tadi diterima Narendra ia abaikan begitu saja. Dirinya tidak menyentuh ponsel lagi setelah mengabari sang orang tua bahwa dirinya telah tiba. Ia malas berinteraksi dengan siapapun dan benar-benar ingin menikmati waktu liburnya.

Namun ketika pukul sembilan malam lebih dua menit, panggilan Theo yang bertubi-tubi membuat lelaki itu menghela nafas dan memilih mengangkatnya. "Halo?" sapa Narendra malas.

"Lu di Bali kan? Hotel mana lu?"

"Ngapain lu nanya-nanya?"

"Yaelah nih anak. Gua nanya malah dia balik nanya. Jawab aja kenapa sih!?"

"Alah, males. Ntar lu nyusul gua lagi. Gua mau liburan dengan damai, gua tutup ye lur, biarin aja lu mati kepo disono. Dah!" kata pria itu galak kemudian langsung mematikan sambungan telepon bahkan ia langsung mematikan ponselnya.

Narendra menghela nafas kemudian teringat dengan buku usang yang sudah seminggu tidak ia baca. Lelaki itu kemudian mengambilnya dari ransel dan mulai membaca kembali kata per kata dari buku tersebut.

Bagian 2

Jayantaka mungkin bisa berencana tetapi ketika Sang Pemilik Alam Raya tidak berkehendak demikian, maka rangkaian wacana itu ibarat abu ditiup angin; tidak lagi tersisa; tidak berguna.

Pria itu kemudian duduk di depan perapian di dalam gubuk Darma sembari menikmati secangkir jahe hangat. Tadi malam ia berniat pergi, namun yang terjadi adalah badai salju yang amat sangat tidak merestui. Jika Jayantaka keras kepala, Darma jauh lebih keras kepala darinya. Perempuan itu lalu menyeret Jayantaka dengan kejam sehingga pria itu kembali masuk ke dalam gubuk.

"Apa kau benar-benar tinggal sendiri dalam gubuk ini, Darma?" tanya Jayantaka kepada Darma yang saat ini tengah mengaduk sup.

"Iya. Sejak ayah dan ibu meninggal karena dimangsa oleh hewan liar ketika berburu kayu, aku harus hidup menyendiri dalam gubuk tua ini,"

"Apakah tidak ada seorang pun keluargamu yang datang untuk mengambilmu?" tetapi Darma menggeleng. "Mereka hanya peduli pada diri mereka masing-masing,"

Jayantaka tidak lagi bertanya. Sebagai orang asing yang menumpang, akan sangat tidak sopan jika ia kembali melayangkan beberapa kalimat tanya yang bisa saja menyakiti hati Darma.

"Supnya sudah siap! Ayo makan!" pekiknya dengan semangat kemudian membawa nampan kearah Jayantaka.

Ia meletakkan nampan tersebut diatas meja kecil yang sudah agak lapuk tersebut. Kepulan asap dari sup serta aroma yang menggugah selera tak ayal membuat Jayantaka bersemangat ingin mengambil makanan. Ketika tangannya sudah melayang di udara dan bersiap mengambil mangkuk yang disediakan oleh Darma, pria itu kemudian tersadar lantas menurunkan tangannya kembali. Ia hanya orang asing.

"Kenapa tidak makan?" tanya Darma ketika menyadari bahwa Jayantaka bahkan tidak menyentuh mangkuk yang ia sediakan.

Berbekalkan inisiatif, perempuan itu memasukkan sup tersebut ke dalam mangkuk kemudian menyodorkannya di hadapan Jayantaka sembari tersenyum manis. "Makanlah, rasanya tidak buruk," katanya.

Jayantaka mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis kemudian menyendokkan sup tersebut dan membawanya masuk ke dalam mulut. Kuah yang kaya akan rempah-rempah itu bertemu dengan lidah Jayantaka, menimbulkan letupan bahagia dalam hati pria tersebut tatkala sadar bahwa sudah lama ia tidak merasakan masakan rumah.

"Enak!" kemudian ia menghabiskan sup tersebut dalam waktu singkat. Ia menerima gelas berisikan air yang disodorkan oleh Darma dan lagi-lagi pria itu tersenyum.

Darma lalu membereskan bekas makan mereka dan membawanya ke tempat pencucian piring. Perempuan 17 tahun tersebut lalu mulai menggulung lengannya sedikit agar tidak terkena cipratan air.

Baru ia mengaduk sabun, tiba-tiba sebuah tangan mampir dan ikut membantunya. "Ayo aku bantu," katanya sambil tersenyum.

Darma tidak mengerti harus berkata apa namun yang jelas hatinya menghangat. Laki-laki di sampingnya itu mengerjakan pekerjaan dengan begitu telaten, membuat Darma terkesima memandangnya.

"Maukah kau tinggal bersamaku disini?" piring plastik di tangan Jayantaka seketika jatuh tatkala mendengar permohonan Darma.

"Apa?"

Darma tau ini benar-benar tidak sesuai dengan dirinya, namun melihat Jayantaka dan kebaikan hatinya, perasaan tidak rela membiarkan laki-laki itu luntang-lantung membuat akal sehat Darma tersita. "Tinggal lah bersamaku," ucapnya sekali lagi.

"Tapi, bagaimana bisa? Aku hanya akan merepotkan dirimu,"

"Ikutlah bekerja bersamaku. Nanti akan aku kenalkan kepada Pak Singh. Dia bosku, nanti aku yang akan meminta pekerjaan untukmu,"

Jayantaka bimbang. Hatinya benar-benar merasa gamang. Ia menghangat namun perasaan tidak enak dan merepotkan orang lain menguasai laki-laki itu. Dan lagi, sebuah perasaan aneh tiba-tiba menyusup begitu saja.

Sampai pagi menghilang dan malam menjemput, Jayantaka masih bungkam. Darma juga tidak memaksanya menjawab, bahkan Darma tetap simpati seperti sebelumnya. Disini hanya Jayantaka yang bingung, hatinya yang bergerak tidak teratur.

Sebenarnya ada apa dengan dirinya?

Kulacino [Very Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang