bagian 2 ; buzurg

24 1 2
                                    

Sementara fajar mulai tiba dan malam mulai beranjak, Narendra masih melamun sejak tadi. Ia terbangun oleh mimpi dengan orang yang lagi-lagi sama. Narendra tidak bisa tidur kembali setelahnya.

Narendra lalu bangkit dan duduk di balkon sembari membawa buku yang diberikan oleh sang ibunda. Buku bersampul kuning itu telah usang bahkan baunya pun seperti buku tua yang tak tersentuh alias berbau debu. Narendra bisa merasakan perbedaan signifikan antara buku tersebut dengan yang ada di masa kini. Tekstur kertas yang lebih kasar dan penulisan yang bercetak tebal dengan kerapatan yang cukup sempit membuat Narendra semakin mengerti, buku yang diberikan sang ibu memang sudah sangat lama sekali.

buzurg

Sebuah judul yang aneh bagi Narendra tapi tak urung ia membaca isinya. Narendra sendiri tidak tau apa arti buzurg dan darimana kata itu berasal, namun pria itu tetap membacanya. Narendra lantas mengernyitkan dahinya tatkala membaca kata pengantar yang berada dalam buku tersebut.

Hidup ini adalah pilihan. Sang Maha Agung telah menggariskan semuanya tentang sebuah pilihan dan semua manusia punya pilihan sebelum ia diturunkan dari nirwana. Hal yang sama berlaku pula pada Darmawati Swastika. Terlepas dari pangkatnya yang dinilai mulia, perempuan dengan wajah rupawan tanpa hiasan itu mesti menghadapi pilihan.

Buku "buzurg" adalah tulisan tangan dari seorang gadis desa yang menetap di sebuah pedalaman; sebuah dusun yang jarang sekali ditemui banyak orang. buku ini dituliskan dari cerita Sang Dewi. Dalam perjalanan menulis ada beberapa cerita yang perlu diperbaiki kembali sebelum akhirnya sampai pada titik ini.

Siapapun kamu yang membacanya, ini adalah kisah murni. Jika kamu mendapatkannya dari sebuah tangan yang selalu kamu percaya, itu tandanya kamu adalah pilihan kami. Bacalah hingga tuntas karena buku ini jawabanmu.

Semua kunci soal hidupmu akan kamu dapatkan dalam buku ini. Berhentilah mengeluh soal rumitnya buku ini, kamu hanya akan paham tatkala habis membacanya.

-buah karya oleh Aditi.

Dua puluh tujuh tahun seorang Narendra Pramana Yudha hidup di bumi ini namun ia tidak sekalipun pernah menemukan buku aneh seperti ini. Narendra pada awalnya sangat tidak tertarik membacanya, bahkan ia berencana untuk membiarkan buku itu hingga nantinya lenyap dimakan rayap. Sayangnya, kata pengantar-meskipun sebenarnya tidak bisa disebut kata pengantar- itu benar-benar menarik tangannya untuk membuka dan meneruskan membaca.

Bagian 1

Menelusuri jalan setapak pada musim dingin dengan pakaian setipis kertas adalah sebuah cobaan yang cukup berat. Manusia lain tengah sibuk menghangatkan diri di dalam rumah sementara pria berjubah biru itu terpaksa luntang-lantung dalam badai salju.

Jayantaka Vaden menghela napasnya kemudian melanjutkan perjalanan menelusuri jalanan ditengah kota. Nyanyian burung lenyap seketika tatkala musim dingin mulai tiba. Biasanya Jayantaka masih bisa menampilkan senyumnya tapi kali ini beku sudah menyelimuti sekujur tubuh bahkan jiwanya.

Pada sebuah persimpangan jalan ia menatap gubuk tua yang dihiasi sebuah lentera didepannya. Matahari perlahan beranjak hingga membuat dingin semakin menjadi-jadi. Jayantaka merasakan badannya melemah hingga memutuskan untuk pergi ke gubuk itu untuk tidur di teras barang sejenak. Sayangnya, belum sempat ia menapakkan kakinya di gubuk tersebut, badannya sudah tumbang dan disambut tumpukan salju.

Seseorang dari dalam gubuk membuka pintunya tidak lama setelah mendengar bunyi keras dari sesuatu yang terjatuh. Matanya membulat, diambilnya mantel hangat dan beranjak keluar.

"Hei, bangun," perempuan dengan mantel coklat itu menepuk-nepuk pipi Jayantaka yang sudah terasa beku.

Perempuan itu lantas menghela nafas kemudian memilih membopong tubuh Jayantaka dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Pukul sepuluh malam waktu setempat, mata Jayantaka terbuka dengan lebar. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar dan menemukan pemandangan yang asing. Jayantaka tidak memiliki rumah, namun saat ini ia berada di dalam rumah.

Hangat. Bisik Jayantaka dalam hatinya.

Lelaki itu kemudian berusaha mendudukkan dirinya namun yang ia dapati justru pusing melanda dan pandangannya memburam.

"Ah, kau sudah bangun rupanya. Aku membawakan jahe hangat, minumlah," perempuan bermantel tadi hadir didepan wajah Jayantaka dan membuatnya bingung tidak karuan.

"Kau siapa? Kenapa aku bisa ada disini? Ini dimana?" tanya Jayantaka.

Perempuan itu tersenyum kemudian menyodorkan jahe hangat tersebut kepada Jayantaka. "Aku Darmawati. Darmawati Swastika. Kau tadi pingsan didepan rumahku dan aku membawamu masuk kesini, badanmu beku. Serta, yah, ini rumahku," jawab perempuan bernama Darma itu.

Jayantaka menghela nafas kemudian meminum jahe hangat miliknya. "Terima kasih banyak," ucapnya sendu.

Darma mengangguk kemudian mengarahkan pandangan kearah luar. "Kau datang dari mana?"

Jayantaka diam tanpa menjawab. Bahkan pada menit-menit setelahnya ia pun masih tetap membisu. "Ah, maaf telah lancang,"

Jayantaka menggeleng kemudian bangkit. "Aku akan pergi sekarang. Terima kasih atas jamuannya, maaf merepotkan malam-malam begini,"

Darma membulatkan matanya dan secara spontan ia menarik lengan lelaki itu. "Jangan. Diluar sedang badai salju. Pakaianmu juga terlalu tipis. Kau akan mati kedinginan diluar sana,"

Jayantaka tersenyum simpul. "Lebih baik seperti itu,"

"Apa maksudmu?"

"Tidak ada yang menginginkan aku,"

[]

"Terima kasih untuk hari ini, Narendra," ucap Selby sembari mengulurkan tangannya kearah Narendra.

Lelaki itu mengernyitkan dahi namun tak urung menjabat tangan Selby. "Tidak usah sungkan," katanya.

Tiga jam berada di dalam ruangan ber-AC membuat Narendra kedinginan setengah mati. Meskipun ia terbiasa terpapar AC namun entah mengapa kali ini Narendra seperti kedinginan.

Narendra lantas bergegas masuk ke dalam mobilnya tatkala jam pulang kantor tiba. Matanya agak panas dan sekujur tubuhnya terasa dingin. Laki-laki itu memegang dahinya dan menghela nafas dengan lelah.

Demam. Ucapnya dalam hati.

Narendra lalu menyalakan mobilnya dan menyusuri jalanan kota. Badannya benar-benar lemah dan sepertinya akan tumbang sebentar lagi.

Sedikit lagi, Narendra. Bisiknya menguatkan hati.

Lima menit kemudian laki-laki itu sampai di rumah. Ibu Sasmita menyambut Narendra dengan hangat dan ditanggapi oleh anak lelakinya dengan senyum dari bibir yang pucat.

Narendra masuk ke dalam kamarnya. Baru hendak merebahkan diri, lelaki itu justru jatuh ke lantai dengan kondisi tidak baik.

Narendra tidak sadarkan diri.

Kulacino [Very Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang