Hujan di pagi hari yang dingin membuat Narendra jadi malas sekali untuk keluar kamar. Pria itu lalu kembali bergelung di dalam selimut sambil memejamkan matanya kembali. Mentari tidak timbul membuat dirinya seakan malas untuk beraktivitas.
Tiba-tiba kamarnya diketuk dengan kencang. Pria itu hanya bergumam tidak jelas dan membiarkan sosok didepan kamar tersebut menggerutu sebal.
Lima menit kemudian selimut Narendra terangkat dan membuat pria itu jadi berdecak. Ia kembali menarik selimutnya namun yang terjadi malah selimut itu dibuang begitu saja.
"Kamu ngapain disini!?"
Pria itu langsung terduduk dan mengusap-usap wajahnya agar kembali segar. Gadis yang tengah berkacak pinggang dihadapannya itu hanya mendengus. "Ayo sarapan!"
Narendra menggeleng kemudian menjatuhkan dirinya lagi ke kasur. Ia lalu menutup wajahnya dengan bantal dan guling namun lagi-lagi gadis dihadapannya itu menarik dengan kencang membuat Narendra sedikit tertarik karenanya.
"BANGUNNNN," sambil menggoyang-goyangkan kedua pipi Narendra, gadis itu memaksa pria dihadapannya ini untuk bangun.
Mau tidak mau Narendra mengalah dan memilih berdiri mengikuti langkah gadis itu. "Saras udah lapar, Narendra! Mau makan soto ayam pagi-pagi begini," katanya.
Narendra mengangguk, "ya sudah aku ganti baju dulu kalo gitu,"
Tidak lama kemudian keduanya pun turun dan mulai memesan makanan. Sesuai keinginan Saraswati di pagi hari ini, mereka benar-benar makan soto ayam. Saraswati tersenyum manis usai menyantap habis hidangan itu.
"Enak!" katanya.
Narendra tersenyum tipis kemudian menyendokkan panna cotta miliknya. "Narendra?"
Pria itu mendongak, "kenapa, Ras?"
"Kalau besok-besok Saras tidak lagi hadir dihadapan Narendra, bagaimana?"
Deg.
Gerakan tangan Narendra berhenti seketika. Mulutnya yang terbuka untuk menyuapkan sesendok panna cotta tiba-tiba saja mengatup dengan keras. Pegangan sendoknya mengetat dan jantungnya mulai berdetak tidak teratur. Rasanya seperti ada ribuan belati yang menusuknya secara mendadak, entah mengapa.
"Narendra kenapa diam? Saras tanya sekali lagi, kalau seandainya Saras tidak lagi muncul di hari-hari Narendra berikutnya bagaimana? Narendra bakal lupain Saras nggak?"
Dua menit terlewati dan mereka masih diam. Narendra tidak bergerak dan Saraswati tidak berusaha untuk buka suara. Namun deheman Narendra kemudian menyadarkan Saras dan membuat perempuan itu reflek memperbaiki duduknya agar tegap.
"Saras,"
"Iya?"
"Saras kenapa bilang seperti itu? Saras mau pergi?"
Saraswati lantas tersenyum lebar. Entah mengapa senyuman itu justru membuat ketakutan yang besar didalam hati Narendra. Senyuman itu entah mengapa membuatnya seolah-olah ingin menangis ditempat.
"Tidak. Saras akan selalu bersama Narendra. Dan Saras akan selalu ada disini, disini dan disini," ucapnya sambil memajukan badan dan menyentuh pelipis, mata serta dada bagian kiri milik Narendra.
"Saras akan selalu ada di pikiran, mata dan jantung Narendra pasti akan selalu berdetak untuk Saras," katanya dengan penuh keyakinan.
Narendra tidak tersenyum. Badannya bahkan membatu sekarang. Giginya mengetat begitupun tangannya yang kini diatas meja. Perasaannya benar-benar tidak enak.
"Saraswati, boleh Narendra bertanya?"
"Boleh!"
"Maksudmu berucap seperti itu ada apa? Selama ini kamu tidak pernah begini. Mengapa tiba-tiba?"
Saraswati kembali tersenyum, kali ini ia bahkan sambil menggenggam tangan Narendra dan mengelusnya pelan. Tatapan mata Saras yang dalam membuat Narendra hanyut ke dalamnya. "Karena...,"
"PERMISI!"
Mata Narendra terbuka lebar. Badannya langsung terduduk dan matanya menatap jendela yang berada tepat di sampingnya. Matahari sudah tinggi dan cahayanya sudah menyusup dari balik tirai. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan tidak mendapati apapun selain dirinya sendiri.
Narendra menghela nafasnya dengan panjang. Gedoran pintu didepan kamarnya semakin nyaring. Ia lalu turun dan membuka pintu kamarnya. "Kenapa?"
Pegawai hotel tersebut tersenyum lebar, "selamat pagi, Pak Narendra. Kami dari tim hotel baru saja menerima paket yang ditujukan kepada Bapak. Maaf jika mengganggu pagi Anda," ucapnya kemudian menyodorkan sebuah paket kecil kepada Narendra.
Narendra mengernyitkan dahinya dalam. Ia tidak merasa memesan apapun dalam waktu dekat, namun mengapa ada barang yang datang? Lagipula ini di hotel. Siapa yang tau ia berada disini? Selain orang tuanya, tidak ada lagi yang mengetahui keberadaan lelaki itu secara detail sekalipun sahabatnya Theo. Lalu, datang darimana paket ini?
"Siapa yang mengantarnya?"
"Kurir pak,"
Narendra kemudian meneliti paket tersebut. Tidak ada nama pengirimnya sama sekali. "Ini tidak ada nama pengirimnya? Serius?"
"Wah kalo itu saya kurang tau, pak. Soalnya saya juga dapat dari satpam di depan. Oh iya, saya permisi dulu ya pak. Masih ada kerjaan," ucap petugas hotel tersebut.
Narendra mengangguk, "terimakasih,"
Sret.
Paket itu mulai terbuka. Narendra merobeknya dengan pelan. Ada sebuah jam tangan beserta sebuah note kecil yang terselip didalamnya.
Ini punya kamu. Aku beli, sengaja buat kamu. Kamu mungkin nggak tau aku siapa. Dan kamu mungkin bertanya-tanya aku tau kamu darimana. Tapi sejak lihat kamu pertama kali hari itu, aku yakin kalau kamu orangnya. Kamu yang disebut di dalam buku itu. Aku yakin kamu yang diizinkan Tuhan untukku. Meski aku baru melihatmu sekali, aku benar-benar yakinkan soal ini.
Kalau sekarang kamu bertanya-tanya tentang aku, tolong jangan cari aku. Akan ada masanya aku muncul di hadapan kamu dan kamu akan tau. Aku tau saat ini kamu di Bali. Aku tau letak kamarmu dan oleh karena itu aku menitipkan jam tangan ini.
Jangan penasaran. Kamu tidak boleh mencari tau. Akan ada masanya aku sendiri yang muncul di hadapanmu.
Ah iya, pakailah jam ini setiap waktu. Agar saat kita bertemu aku benar-benar yakin bahwa itu adalah kamu.
tertanda, aku.
Ini menyeramkan. Ini benar-benar menyeramkan. Siapa pengirim paket ini? Dan siapa dia? Mengapa ia tau Narendra? Tolong, ia tidak memberi tahu siapapun soal detail tempatnya berada. Sekalipun kantornya.
Siapa pengirimnya?
Lelaki itu memejamkan matanya sejenak. Mencoba mengingat siapa saja yang kira-kira bisa berbuat iseng seperti ini. Namun, nihil. Sekalipun Theo, ia tidak akan seperti ini dan tulisan tangannya pun tidak serapi yang tertera pada note kecil berwarna hijau itu.
Oh astaga, apa-apaan ini, Tuhan? Mengapa seperti ini?
Ah iya! Tadi ia terbangun tiba-tiba dari sebuah mimpi aneh yang terasa nyata. Namun, siapa gadis yang berada dalam mimpinya?
Narendra mengacak-acak rambutnya. Benar-benar merasa tidak paham dengan apa yang terjadi dengan dirinya.
Mengapa pagi buta begini ia sudah menerima banyak teka-teki? Ada apa sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kulacino [Very Slow Update]
RomanceSeperti kulacino yang berarti bekas air di meja akibat gelas dingin, seperti itulah sosok gadis yang menyebut dirinya Saraswati Natalya bagi Narendra Pramana Yudha. Narendra selalu menganggap bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semu...