Chapter 4

2.2K 262 40
                                    

Panas, kulit kepucatan itu terlihat agak memerah. Dua manik mata hazel milik seorang remaja yang tergolek lemah tak berdaya kini meredup tak seperti biasanya, bahkan terlihat sangat sayu.

Remaja manis itu menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut tebal untuk mengurangi hawa sekitar yang terasa dingin, bahkan bisa membuatnya menggigil saat ini juga, meskipun itu tidak berpengaruh apapun, punggung ringkihnya bergetar pelan, dengan kuku-kuku jari yang mencengkram erat ujung selimut tadi.

Dengan sigap Singto meletakan kembali handuk basah kecil di atas kepala sang anak yang sempat persekian detik tadi di ambil olehya, mencoba membantu untuk mengurangi suhu panas yang kini terasa sangat menyengat jika jemari Singto kapan saja menyentuh dahi sang anak. Meskipun Krist sempat menolak bahkan terganggu dengan sesuatu yang basah tadi, akan tetapi Singto tetap memaksanya, hingga akhirnya Krist mau tidak mau hanya bisa diam, sebab tubuhnya terlalu lemas untuk melawan ataupun melakukan sesuatu.

"Ayah akan membuatkan mu bubur ya? Tunggu disini."

Saat Singto ingin bangkit dari sisi sang anak, tangan pucat nan rapuh itu menghalangi pria tadi melangkahkan kakinya pergi sejengkalpun dari tempatnya berada saat ini. Seolah tidak mau sedetik saja di tinggalkan oleh sang ayah.

"Ayah...."

Intonasi remaja manis tadi parau memangil sang ayah, sembari menarik narik ujung pakaian yang di kenakan ayahnya.

"Apa, nak?"

"Jangan pergi."

"Jangan seperti ini, Kit harus makan baru ayah bisa memberimu obat."

"Tidak mau."

"Karena itu Kit harus makan ya? Supaya cepat sembuh, nanti jika Kit sembuh ayah akan mengajak Kit pergi. Bagaimana?"

Singto berbisik pelan ke arah sang anak, dan mencoba berbicara perlahan-lahan, agar tidak ada satu katapun yang terlewatkan oleh anaknya, hingga Krist bisa memahami apa yang di katakannya.

Genggaman tangan Krist yang tadinya sangat erat kini perlahan berubah menjadi sedikit mengendur pada lengan Singto, membuat sang ayah mengulum senyumnya, mengusap rambut anaknya pelan.

"Tunggu disini ya, sebentar saja."

Singto mengatakannya dengan lembut, mencoba memberikan pengertian pada Krist, dan saat Singto pergi Krist hanya bisa menatap langit-langit kamarnya yang terlihat mengabur itu dalam kebisuannya.

_______

Sementara Singto yang kini berada di dapur, mencoba untuk membuat bubur untuk putranya, karena Krist tidak suka sayur jadi pria itu menghindarinya, tidak akan mengunakan bahan yang akan Krist tidak sukai, sebab jika itu terjadi sang Anak akan mencari alasan untuk tidak menghabiskan makanannya, padahal pada saat seperti ini Krist membutuhkan banyak nutrisi untuk tubuhnya, Singto akan menggantinya menggunakan sesuatu yang Krist sukai, mencoba menatanya terlihat menarik agar bisa merebut fokus Krist.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Krist sakit, setiap bulan pasti ada saja penyakit yang menyerang kekebalan tubuh sang anak. Maklum saja metabolisme tubuh Krist itu lemah, tidak seperti anak normal lainnya, membuatnya gampang terserang penyakit.

Walaupun tetap saja, Singto merasa khawatir. Lebih baik dia yang merasakan sakit daripada Krist, sebab Singto bisa menahan sesakit apapun rasa sakit itu, tetapi saat anaknya yang terserang penyakit Singto merasa tidak tega. Krist yang selalu bersikap pasif bisa lebih pasif lagi dari biasanya.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan pintu itu, menginterupsi apa yang tengah Singto lakukan, hingga membuatnya mengalihkan perhatiannya sejenak untuk menengok siapa yang datang ke rumahnya.

[31]. AFEKSI: Come to meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang