Chapter 6

1.9K 260 47
                                    

Suara pintu dipukul-pukul dari dalam ruangan pada salah satu gudang itu terdengar cukup kencang. Krist remaja itu mencoba untuk berteriak agar sang Ayah mendengar panggilannya, meskipun tanpa Krist tahu jika hal ini sungguh mustahil sebab Singto bahkan tidak tahu jika Krist terkurung di sini.

"Ayah ... Ayah ... Ayah...."

Isakan pelan keluar dari bibir Krist, sembari pandangannya yang sedikit mengabur itu menatap ke arah sekelilingnya, tempat asing yang belum pernah sama sekali Krist kunjungi. Krist paling tidak suka dengan tempat seperti ini, Krist paling tidak nyaman tinggal di tempat yang belum pernah di lihatnya, apalagi tanpa ayahnya.

Hingga yang anak itu bisa lakukan hanyalah membaringkan tubuhnya di atas permukaan lantai yang kotor itu, tanpa paham jika itu tidak layak untuk di tiduri, Krist menyentuh perutnya yang terasa lapar, dan juga hawa dingin di sini menyergap tubuhnya, membuat Krist menjadi menggigil seketika. Sebab keadaan di luar malam ini tengah hujan.

"Ayah, Kit takut."

Hanya itu yang keluar dari bibir anak itu, Krist meringkukkan tubuhnya seperti bayi di dalam kandungan, sembari memejamkan matanya karena merasa takut.

*

Sedangkan di tempat lain. Singto masih mencari anaknya di tengah guyuran hujan yang turun dengan derasnya itu menggunakan sebuah payung. Singto bertanya pada orang yang berlalu-lalang di sekitarnya siapa tahu di antara mereka ada yang melihat anaknya. Meskipun Singto sudah melaporkannya pada pihal berwajib akan tetapi hal ini perlu di lakukan agar bisa menemukan keberadaan sang anak.

Singto terus mencari tidak memperdulikan pakaiannya yang hampir basah. Yang ada di dalam pikirannya hanya Krist.

Apakah Krist punya tempat untuk berteduh malam ini?

Apakah anaknya tidak akan kedinginan?

Apakah Krist sudah makan?

Apakah Krist baik-baik saja?

Banyak pikiran yang berkecamuk di dalam benak Singto saat ini, tentang Krist dan juga bagaimana keadaan sang anak. Singto takut Krist jatuh ke tangan orang jahat. Singto takut terjadi sesuatu pada anaknya itu.

"Kit kamu di mana, Nak?"

Singto bergumam pelan, sembari mendudukkan dirinya sendiri di halte bus yang tengah sepi, menatap gelombang air hujan yang dari tadi terus berjatuhan tidak ada habisnya.

Meskipun Singto tahu jika dia bodoh meninggalkan anaknya seorang diri disana, Singto hanya tidak mau Krist mengamuk karena terlalu lama mengantri jika Singto mengajaknya ikut, tetapi segalanya justru berakhir seperti ini.

Di mana sekarang Singto bisa mencari Krist?

Jika Krist tidak bisa di temukan lagi, bagaimana Singto akan hidup nantinya. Dia bertahan hanya untuk Krist saja, tetapi jika Krist tidak ada, Singto tidak mau lagi bertahan di dunia yang kejam, selalu saja berperilaku tidak adil padanya.

Sepertinya kesabaran Singto terus menerus tengah di uji, padahal apapun itu yang menyangkut puteranya Singto merasa jika dia tidak sanggup untuk melewatinya.

Di genggamnya rubik Krist yang terjatuh kemarin dengan erat, seperti itu adalah jari-jari Putranya yang rapuh. Singto menengadah ke arah langit dengan gelombang air mata yang bisa kapan saja akan pecah, jika Singto sudah tidak sanggup lagi menahannya.

"Ayah pasti akan bisa menemukanmu, Nak."

*

*

Cahaya matahari mengintip malu-malu ke sela-sela jendela kaca di dalam kamar Singto. Pria berkulit Tan itu langsung terbangun begitu mendengar bunyi suara alarmnya. Singto bangkit dari tempat duduknya ingin melakukan pekerjaan rumahnya seperti biasanya. Membangunkan Krist, membuatkan sarapan untuk Krist dan juga menunggui putranya ketika bus sekolah menjemput Krist. Hanya saja baru beberapa langkah kaki Singto terhenti dengan sendirinya. Pria berkulit Tan itu sadar jika dirinya lupa, kalau Krist belum di temukan sampai hari ini.

[31]. AFEKSI: Come to meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang