Chapter 10

1.9K 229 99
                                    

Hari masih sangat pagi saat itu, ketika Singto merapikan seragam sekolah anaknya, memastikan jika segalanya tepat untuk Krist, sedangkan sang Anak hanya berdiri diam pada tempatnya.

Sesekali Singto menatap wajah pucat anaknya, tetapi ketika Krist terlihat memandangnya, Singto langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Sudah selesai, lihat siapa ini? Anak ayah sekarang sudah besar, eum?"

Tangan Singto mengusak surai Krist pelan, hanya saja gerakan pria itu terhenti ketika merasakan sesuatu yang ikut terbawa dalam telapaknya. Pria itu menatap pada tangannya yang kini tebuka dengan gemetaran, saat melihat helaian rambut putranya yang menempel di sana.

Dengan cepat Singto langsung menyembunyikan tangannya ke belakang punggungnya, tak mau anaknya melihat hal itu dan memasang senyuman manis pada Krist, seolah tak terjadi apa-apa barusan.

"Ayo, sarapan nak."

Dirangkulnya bahu Krist berjalan seirama dengannya, menuntun anak semata wayangnya itu untuk duduk pada kursi yang posisinya di belakang meja makan, begitu anaknya sibuk untuk menata peralatan makannya, Singto melangkahkan kakinya untuk pergi ke dapur.

Lebih memilih untuk menyandarkan tubuhnya pada dinding, menatap lagi telapak tangannya, Singto tahu ini akan terjadi karena obat itu keras untuk anaknya, tetapi Singto tidak bisa berbuat apapun setidaknya untuk mengurangi beban yang Krist rasakan, kecuali memperlakukannya seperti biasa, seperti anaknya itu tak sakit apapun, seolah Krist memang baik-baik saja, tidak mau anaknya tahu tentang ini jika Singto memperlakukannya dengan cara lain, sebab Krist tidak butuh di kasihani, yang di butuhkan hanyalah Singto ada di sisinya dan menyemangatinya. Bukan bersedih atau menangis, itu tak akan mengubah keadaan menjadi baik, justru memperburuk keadaan Krist nanti.

Singto yakin Krist tahu tentang hal itu, perasaan anaknya itu lebih sensitif dari apapun, meskipun pasif dalam hal berinteraksi. Singto hanya ingin Krist menikmati setiap waktu yang dia miliki, melakukan hal-hal yang dirinya mau dan inginkan, tanpa halangan. Bersikap semestinya seperti kebanyakan orang lainnya, Singto takkan pernah melarangnya selama itu membuat Krist tersenyum, percuma mengurungnya di dalam rumah, itu sama sekali tidak memberikan kebahagiaan pada anaknya, setidaknya Krist bisa bermain dengan temannya, bertemu orang-orang baru yang bisa membuatnya nyaman, bukan hanya berkutat pada Singto yang hampir setiap waktu dia temui. Singto ingin menghabiskan banyak waktu dengan anaknya, dia ingin semua waktu Krist. Namun, jika seperti itu artinya Singto egois, karena mementingkan dirinya sendiri, sedangkan anaknya pasti punya banyak hal menyenangkan tanpanya.

Setiap waktu yang dia habiskan bersama Krist itu sangat berharga, meskipun tak ada kejadian yang berarti di antara keduanya, cukup mengamati Krist dan melihat dunia anaknya yang terbuka tepat di depan matanya, itu sudah membuat Singto merasa cukup.

Dulu dia tak pernah menyangka bisa sampai pada detik ini, Singto tak pernah percaya pada dirinya sendiri, tetapi sekarang Singto ingin mempercayainya, jika dia bisa. Singto bisa melewati masa-masa sulit ini berdua dengan anaknya, hanya lewat sentuhan kecil dan menggenggam tangan masing-masing, sampai akhir tiba nantinya.

Kedatangan dan kepergian seseorang itu ada pada tangan Tuhan, bukan manusia. Manusia bisa menerka-nerka. Namun, Tuhan-lah yang berkehendak.

Tak perduli apapun yang terjadi, Singto menyakinkan pada dirinya sendiri, jika dia tidak apa-apa. Krist bisa terlihat kuat, bisa menyapanya dengan ceria, bisa melakukan sesuatu dengan semangat, padahal dia berbeda, padahal dia sakit dan kenapa Singto yang baik-baik saja, tidak bisa seperti dia? Bukankah ini terlihat lucu?

Pada dasarnya semua manusia itu kuat, tetapi semuanya ini tergantung cara pandang saja. Jika menyakinkan diri kita kuat, kita pasti bisa, segala hal pasti akan menjadi mudah nantinya di penghujung jalan. Namun jika berpikir sebaliknya merasa tak mampu dalam banyak hal, tak pernah merasa cukup dengan apa yang kita miliki, sesuatu yang harusnya bisa kita lewati akan menjadi batu sandungan yang paling berat dalam hidup. Padahal nyatanya kuncinya hanya satu, menyakinkan diri sendiri jika kita bisa dan bahagia sekarang, itu seperti mantra keajaiban yang bisa menguatkan diri, karena semuanya tergantung dari diri kita, bukan orang lain.

[31]. AFEKSI: Come to meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang