Ending

4.6K 360 167
                                    

🎵 Kwahm Mai Tee Hai Bpai
Nat sakdatorn
Ost, father 2016

**********

Jemari seseorang tengah menggoreskan garis abstrak pada kaca yang berembun pada sore hari itu, langit yang harusnya masih cerah kini meredup akibat sisa-sisa hujan yang belum lama mereda itu. Krist menatap lurus ke depan menerawang jauh apa yang tengah di lihatnya dengan lemah.

Ekor matanya beralih menatap ke arah ayahnya yang kini tengah sibuk mengemasi barang-barangnya, Krist akan pulang hari ini dan Singto sudah menjanjikan itu.

Sementara sang Ayah hanya mengamatinya dengan tersenyum samar, ketika sang Anak duduk di atas kursi rodanya dalam diam, dalam dunianya sendiri.

Tiba-tiba saja membuat Singto teringat masa-masa dulu, saat putranya masih sangat kecil, Krist akan duduk sendirian dan terus menatap ke arah kaca, menunggu Singto untuk pulang kuliah dan ketika Singto pulang anak itu akan terlihat begitu senang, sampai akhirnya mereka bermain bersama. Begitupun sebaliknya waktu Singto pergi anak itu akan menangis dan memeluk kakinya, masa dimana semuanya terlihat baik-baik saja.

Krist masih anak normal seperti kebanyakan orang, masih bisa merespon apa yang Singto katakan dengan baik, meskipun pada akhirnya seperti ini tetapi Singto tidak pernah menyesali keadaan. Mungkin semua ini sudah di takdirkan untuk anaknya.

Dan Singto menikmati semua keadaan ini, bisa menjaganya dan merawatnya dengan semampunya. Sesuatu yang awalnya Singto kira ini mustahil, meskipun nyatanya dia bisa membuktikan pada dirinya sendiri, jika sebenarnya Singto mampu untuk hal ini.

Walaupun pada awalnya, Singto sempat merasa frustasi dengan keadaan ini. Ketika Krist kecil dan dia merasa sakit, anak itu takkan pernah mau ditinggalkan oleh Singto sebentar saja, selalu ingin Singto ada di sisinya menemaninya dan menjaganya. Seperti takut ada yang menyakitinya saat Ayahnya tidak ada dan dia akui kalau ini berat. Saat dulu Singto masih buta dengan cara merawat seorang Anak ketika dia sakit, tetapi karena Krist sering mengalami hal ini, membuat Singto belajar sedikit-sedikit, mencoba untuk mengerti apa yang anaknya butuhkan dan apa yang Singto harus lakukan jika hal seperti itu terjadi kembali.

Semua bayang-bayang sang Anak ketika masih kecil dulu mulai berputar-putar di dalam benak Singto. Pria itu masih ingat ketika Krist menangis histeris hanya karena sesuatu yang baru saja di lihatnya, lalu setelahnya anaknya berubah menjadi sangat pendiam dan tak pernah lagi merespon apa yang dikatakan oleh orang lain. Singto masih ingat ketika dokter mendiagnosa Krist terkena autisme segalanya tercetak jelas di dalam ingatannya sampai saat ini.

Singto tidak tahu caranya mengurus seorang anak, tidak tahu jika sebenarnya dari awal perkembangan anaknya terganggu. Namun, dia berpikir ini hal yang normal, tak pernah menyangka kalau ternyata hal itu nantinya akan menjadi pukulan berat dalam hidupnya.

Anaknya menderita seumur hidup, karena menderita penyakit yang tak mungkin bisa di sembuhkan, meskipun Krist harus melakukan terapi seumur hidupnya anaknya tak mungkin bisa seperti anak normal lainnya. Penyakit itu merenggut masa depannya, tetapi selama berjalannya waktu segala baik-baik saja. Singto berpikir selama Krist ada di sisinya tidak akan menjadi masalah berarti untuknya, sebab Singto bisa merawat anaknya. Namun, begitu ada penyakit lain yang kini bersarang di dalam tubuh Krist, menggerogoti pertahanan anaknya. Kali ini Singto benar-benar tidak bisa menerimanya, banyak orang yang mengatakan padanya jika Singto harus menerima ini.

Hanya saja mereka lupa, kalau berbicara memang mudah, akan tetapi mengurainya menjadi perbuatan itu sulit. Tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Mereka tidak sadar, ketika orang lain mengucapkan kata 'ikhlaskan' itu semakin melukai hati Singto, sama halnya dengan rasa kasian, sebab sebenarnya orang yang terluka tak membutuhkan kata-kata seperti itu, tak membutuhkan belas kasihan dari orang lain, jika ingin membuktikan kalau benar-benar peduli, cukup hanya mendampingi dalam diam, membuat keadaan seperti mengatakan secara tidak langsung kalau 'kau tak pernah sendirian' sebenarnya hal itu sudah cukup, sebab perbuatan jauh lebih berharga daripada ucapan.

[31]. AFEKSI: Come to meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang