Chapter 11

1.6K 228 21
                                    

Mobil yang di kendarai oleh Singto, melaju dengan kecepatan sedang menembus jalan raya yang terlihat cukup sepi, meskipun ada beberapa kendaraan yang melewati jalanan ini sama sepertinya.

Ekor mata Singto menatap sosok remaja yang kini tengah memainkan rubiknya, tak mengucapkan sepatah katapun padanya. Krist hanya diam pada dunianya sendiri, seolah Singto ini tidak ada, meskipun sering seperti ini, tak terlihat oleh anaknya sendiri tetapi terkadang Singto ingin anaknya bisa melihatnya dan mengajaknya berbincang sekali saja, hanya saja memahami dirinya sendiri Krist belum mampu, apalagi mencoba untuk memahami orang lain?

Setelah hampir satu jam perjalanan, Singto menepikan mobilnya dan menatap Krist lagi, bisa di lihat jika anaknya tengah memainkan kaca mobil dengan jari-jari tangannya.

Seulas senyuman terkulum di sudut bibir pria berkulit Tan itu, sembari mengusap bahu Krist pelan, mencari cara agar anaknya mau melihatnya sekali saja.

"Sudah sampai. Ayo turun Kit."

"Di mana?"

"Katanya Kit mau bertemu Ibu?"

Wajah Krist yang tadinya murung kini berubah menjadi berbinar dan langsung turun dari dalam mobil, Singto menggandeng pergelangan tangan anaknya, sembari membawa satu buket bunga dalam dekapannya.

Keduanya berjalan menelusuri jalan kecil yang menanjak ke atas hanya bisa di lalui oleh pejalan kaki, hingga mereka harus sedikit berusaha untuk sampai pada tempat yang mereka mau. Namun, sayangnya belum sampai ke atas, Krist sudah lelah dan berjalan sempoyongan. Raut wajahnya yang sudah memucat kini semakin pucat saja. Singto langsung memberikan air yang di bawanya untuk berjaga-jaga jika Krist merasa haus dan mengajak anaknya beristirahat di bawah pohon rindang sebentar.

"Kit lelah, sayang?"

"Sakit."

Krist memegangi kakinya, hingga Singto memijatnya, lalu mengeluarkan sapu tanganya untuk menghapus keringat Krist, sebelum berjongkok di depan anak itu, meminta Krist untuk naik ke atas punggungnya.

"Naik, Nak. Biar ayah gendong."

Butuh waktu beberapa menit agar Krist bisa mengerti apa yang Singto katakan, sebelum menaiki punggung sang Ayah dan Singto langsung memegangi Krist, tak mau sampai anak kesayangannya itu terjatuh.

Menapaki jalan menanjak itu perlahan-lahan, dengan menahan tubuh Krist, sementara sang anak menyandarkan kepalanya pada bahu belakang ayahnya, menikmati apa saja yang bisa di lihatnya sekarang.

"Ayah...."

"Apa, nak?"

Tidak ada jawaban apapun dari Krist, bisa Singto lihat jika anaknya itu tengah mengamati sekelilingnya dengan heran, mungkin karena Singto jarang membawa Krist pergi ke sini dan juga jalan-jalan. Krist harusnya butuh banyak waktu bersamanya.

Bisakah Singto mengulang waktu kembali? Dulu dia merasa apa yang telah diperbuatnya sudah cukup, akan tetapi sekarang setelah Singto memikirkannya lagi, ternyata hal itu saja tak cukup, banyak kekurangan yang ada di dalam diri Singto. Dia tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna bagi Krist.

Singto membawa Krist pada sebuah pusara yang terletak di atas bukit dan cukup jauh dari tempat mereka memarkirkan mobil tadi. Singto menyerahkan karangan bunganya pada sang Anak hingga Krist sendiri yang meletakkan itu di atas makam ibunya, sembari tersenyum ke arah batu nisan sang Ibu seolah ada sosok yang dia sayangi tengah tersenyum padanya dengan sangat manis.

Krist langsung memeluk pusara makan itu, Singto hanya bisa melihatnya dan mengusap bahu Krist, berjongkok di samping Krist yang mengusap-usap makam ibunya dengan penuh kelembutan, sembari tersenyum sangat manis, seolah anaknya itu tengah sangat bahagia sekarang.

[31]. AFEKSI: Come to meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang