Chapter 2

3.1K 352 149
                                    

Suara ketukan dua benda nyaring tertangkap oleh pendengaran Singto yang kini tengah melayani salah seorang pelanggannya itu. Saat ini seperti hari-hari biasanya Singto dan sang anak akan berada pada toko miliknya hingga petang menjelang.

Begitu melihat ke arah belakang, terlihatlah Krist yang tengah memukul-mukul sebuah kaleng makanan di hadapannya, Krist terlihat senang dengan nyaringnya suara yang dapat di timbulkan dirinya sendiri.

Seulas senyuman terkulum pada sudut bibir Singto, setiap saat dirinya bisa mengawasi sang anak dari jarak yang sangat dekat, dan tidak mungkin segalanya yang Krist kerjakan bisa luput dari pengelihatan Singto.

Awalnya Singto ingin bekerja di kantor atau yang lainnya hanya saja dengan seperti itu, dia tidak akan punya waktu untuk Krist, dan jangan lupakan siapa yang akan mengurus sang anak jika Singto bekerja?

Pergi pagi lalu pulang di sore hari, itu berarti tidak ada yang menunggui Krist ketika berangkat dan pulang sekolah, siapa yang akan menyiapkan makan siang. Bisa saja Singto menyiapkan segalanya untuk Krist sebelum bekerja, akan tetapi Singto tidak setega itu membiarkan Krist di rumah sendirian, tidak ada yang menemaninya.

Ibunya tidak mungkin mau menjaga Krist, sama seperti orang lain yang menganggap anaknya hanya membuat malu keluarga mereka, karena kondisi fisiknya, padahal dulu ketika Krist kecil sang ibu yang selalu merawatnya, meskipun terpaksa.

Pernah juga waktu itu sekali waktu Singto menyewa pengasuh untuk anaknya, beberapa Minggu terlihat baik-baik saja akan tetapi kondisi Krist menjadi semakin buruk jika malam, Krist bahkan lebih sering mengamuk daripada yang biasanya terjadi bahkan rentan terkena sakit. Barulah setelah Singto mencari tahu penyebabnya, kenyataan itu lagi-lagi membuat pria tadi menjadi bersalah kepada sang anak karena mencarikannya pengasuh yang tidak tepat. Bukannya mengurus Krist pengasuhnya justru menelantarkan putranya, berpikir jika Krist tidak mungkin bisa mengadu pada Singto, hingga memanfaatkan kekurangan anaknya, untuk kepentingannya sendiri.

"Kit sedang apa?" Singto bertanya sembari menghampiri sang anak, tangan Singto terulur mengusak pelan rambut Krist, sebelum lanjut berbicara, "apa kit lelah? Jika iya kita bisa pulang."

Namun Krist tidak mengindahkan apa yang ayahnya katakan dan justru sibuk dengan pensil warna-warni di dalam genggaman tangan remaja tadi. Benda yang berwarna itu lebih mudah mengambil alih fokus Krist.

"Ayah...."

Ketika mendengar sang anak bersuara, Singto langsung memfokuskan perhatian pada Krist yang terlihat tengah gusar.

"Kit mau main."

"Nanti kita bisa main lagi di rumah."

Tangan Krist meraih buku dan alat tulisnya yang ingin di sentuh oleh Singto, mengisyaratkan jika sang ayah tidak boleh menyentuhnya, karena Krist sudah menatanya. Kebiasaan Krist sebelum melakukan apapun adalah menata apapun yang di bawahnya dengan rapi, seperti;buku tulis, tempat pensil, pensil, penggaris dan juga penghapus.

Krist tidak akan membiarkan orang lain untuk menyentuhnya, bahkan tidak akan berhenti menatanya sebelum terlihat sempurna pada kedua manik hazelnya. Begitupun juga dengan kotak makan, dan peralatan makan, sebelum makan Krist wajib menata segalanya terlebih dulu.

"Ayah tidak akan menyentuhnya."

Tangan Singto terulur ke arah anaknya ingin mengajak Krist pergi, namun Krist sama sekali tidak memperhatikannya, dan justru menatap ke arah lain, seolah ada hal yang lebih menarik dari apa yang tengah Singto ucapkan padanya, hingga akhirnya pria tadi mengambil kincir angin mainan yang terbuat dari kertas. Krist senang dengan hal-hal seperti ini jadi Singto selalu menyimpannya dimana-mana agar Krist tidak bosan jika pergi bersama dengannya.

[31]. AFEKSI: Come to meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang