Hyunsik menyapu telunjuknya di atas sebuah grand piano hitam di ruangan loteng vila, mendapati sekumpulan debu yang hinggap di sana. Entah sudah berapa tahun lamanya piano itu tak tersentuh olehnya, Hyunsik tak ingat betul. Yang jelas, hal pertama yang harus ia lakukan sekarang adalah memastikan sang piano dapat dimainkan dengan nada yang selaras.
Segera ia pakai sarung tangan khusus dan mengeluarkan beberapa peralatan khusus dari sebuah kotak di sudut ruangan, bersiap-siap menyelaraskan setiap senar dan tuts piano tua Steinway itu dengan teliti. Berbekal sedikit pengalaman membantu ayahanda sejak belia, ia berniat untuk menyetem piano itu dengan tangannya sendiri. Sebuah pagi yang sibuk.
Piano itu adalah milik ayahanda, Lim Jihoon; sang musisi legendaris yang dicintai banyak orang pada zamannya. Mengikuti jejak sang ayah, kini Hyunsik menggeluti bidang pekerjaan yang sama; menulis, mengaransemen dan hingga menyanyikan lagunya sendiri. Seorang soloist.
Musik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seorang Lim Hyunsik. Dari sebuah tempat dimana ia menemukan jatidirinya, hingga menjadi media baginya untuk menggaet seorang kekasih. Ada banyak cerita yang terpapar dalam tiap nada yang ia tuliskan dalam buku partitur lusuhnya. Meski tidak sedikit cerita sedih terkandung di dalamnya, Hyunsik tidak pernah lelah bersama musik. Ia amat menikmati pekerjaannya.
Namun kini ia sedang berlibur dari pekerjaan dan jauh dari studio musik, jadi hanya piano inilah yang bisa mengisi kekosongan itu.
Dengan hati-hati Hyunsik menyetel senar demi senar yang sudah mulai aus karena usia, mengandalkan beberapa peralatan dan pendengarannya yang tajam akan nada-nada. Sebuah kesulitan yang menyenangkan baginya.
Pukul sebelas siang, akhirnya piano tua Steinway itu selesai distem. Tersenyum lebar, ia seka keringat yang mengucur di dahinya dengan selembar saputangan. Baru saja Hyunsik hendak menaruh peralatan kembali ke dalam kotak, ponselnya bergetar karena sebuah panggilan telpon.
Senyumnya memudar seketika kala melihat nama sang penelpon. Son Naeun.
Dengan acuh ia taruh ponselnya diatas meja dan membiarkannya bergetar hingga akhirnya berhenti, melanjutkan kembali membereskan peralatan. Namun lagi-lagi ponsel itu bergetar.
Wanita itu tidak akan berhenti menelponnya sebelum ia mengangkatnya, Hyunsik tahu betul. Sifatnya tidak pernah berubah.
Baiklah, angkat, dan akhiri segera.
Klik.
"Ada apa sekarang, Naeun?"
*
Seunghee terpaku di hadapan pintu ruangan loteng. Ingin mengetuknya, namun ragu. Sudah dipastikan Hyunsik sedang ada di ruangan ini, ia dapat mendengar suara suaminya dari luar.
Tapi Seunghee sadar, tidak mungkin pria itu bercakap-cakap seorang diri, kan? Ia tampak sedang menelpon seseorang, dengan sayup-sayup suara yang dipelankan meski masih tetap terdengar.
Menelpon siapa? Seorang wanitakah?
"Astaga, berhenti berpikir yang aneh-aneh, Oh Seunghee," ia mengibaskan kerah bajunya, "lagi pula.. memang kenapa kalau dia menelpon wanita? Itu.. privasinya."
Ia terus berucap kata-kata penyangkalan untuk mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba menggerayangi hatinya.
Suasana sepi senyap, suara Hyunsik sudah tidak terdengar, berganti dengan alunan denting piano bernada acak. Artinya pria itu sudah tidak menelpon lagi.
Denting piano itu perlahan menjadi teratur, mengalunkan sebuah introduksi lagu yang familiar di telinga Seunghee.
"noreul ango isseumyeon.. (saat aku memelukmu..)"

KAMU SEDANG MEMBACA
SAY YOU LOVE ME
FanfictionMenyatukan dua kehidupan menjadi satu, itulah pernikahan. Melakukannya memang tidak mudah, membutuhkan rasa saling percaya satu sama lain agar mereka bisa hidup bersama untuk waktu yang lama. Namun bagaimana untuk mereka yang bahkan tidak punya cuku...