Melissa... Melissa... Melissa...
Nama gadis itu terus terngiang-ngiang di telingaku sejak Irman menyebutnya tempo hari. Aku kembali teringat pada sosoknya yang telah lama pergi dari hidupku. Dia adalah teman seangkatanku saat kuliah dulu. Sebenarnya sudah lama kami tidak pernah bertemu lagi, tapi baru kali ini aku merasa sangat sedih karena telah kehilangan dia.
Gadis itu benar-benar seperti mata-mata yang membuntuti kemanapun aku pergi. Semua organisasi kampus yang kudaftar, dia juga mendaftar di situ. Begitupun ekstrakurikuler, pengkaderan, workshop dan hal-hal kemahasiswaan lainnya.
Saat mencalonkan diri sebagai ketua BEM dia menjadi anggota tim suksesku. Bahkan lebih gencar berkampanye daripada ketua timses yang sebenarnya.
Dia cukup sering datang ke rumahku dan sangat akrab dengan Ibu dan ketiga adik-adikku. Dia hafal semua hari ulang tahun mereka, bahkan lebih hafal daripada aku sendiri. Setiap hari ulang tahun Ibu dan adik-adikku tiba, dia selalu menjadi orang pertama yang mengirimkan kado. Setiap tahun ajaran baru tiba, dia sibuk membelikan berbagai perlengkapan sekolah untuk adik-adikku. Bahkan membantu mereka mengerjakan PR.
Dia tidak pernah lupa pada hari ulang tahunku. Dan selalu menyiapkan hadiah-hadiah spesial dan kejutan istimewa untukku. Sedangkan aku bahkan tidak tahu dia lahir tahun berapa.
Banyak teman yang mengira kami berpacaran. Padahal sebenarnya tidak. Aku tahu dia sangat menyukaiku. Dia mulai menyukaiku sejak pertama kami bertemu saat orientasi mahasiswa baru. Hingga tahun terakhir masa perkuliahan. Tapi sayangnya aku tidak pernah bisa menyukainya.
Suatu hari pernah kutanya apa yang dia suka dariku. Dia lantas menjawab.
"Aku menyukai semua yang ada padamu"
Aku terenyuh mendengar jawaban itu. Aku ingin membalas perasaannya itu tapi sungguh aku tidak bisa.
Sebenarnya gadis itu cukup manis dan pada awalnya aku sangat tersanjung pada semua perhatian yang dia berikan padaku. Namun lama kelamaan aku merasa sangat jengah dan risih pada semua yang dia lakukan itu.
Aku sungguh tidak ingin menyakiti hatinya. Pantang buatku untuk menyakiti hati seorang wanita. Namun aku tidak bisa memaksakan perasaanku. Akhirnya aku cuma bisa meminta maaf padanya.
"Maafkan aku Melissa. Aku hargai semua usahamu tapi kamu tahu aku tidak bisa memberi apa yang kamu harapkan dariku."
Setelah aku bekerja di Jakarta, dia masih sering berhubungan dengan Ibu. Ibuku yang sudah "disuap" dengan beragam pemberian selama bertahun-tahun seringkali membujukku untuk menikah dengannya. Tapi selalu kutolak.
Pelan-pelan Melissa pun menjauh dari keluargaku. Dan tidak pernah berhubungan dengan kami lagi.
Aku menghela nafas panjang. Mengingat itu semua mendatangkan rasa miris di hatiku. Ya, sekarang aku sudah tahu bagaimana rasanya berada di posisi gadis itu. Cinta yang bertepuk sebelah tanagn. Mengejar cinta seseorang yang jangankan membalas, sebaliknya malah merasa risih dengan kehadiran kita.
Aku sungguh sudah tahu bagaimana rasanya. Dan itu ternyata sangat menyakitkan.
Aku mengambil handphone ku dari saku celana. Lalu jari jemariku mulai mencari akun sosial media gadis itu. Melissa Putri.
Kubuka profilnya. Wajahnya masih manis seperti dahulu, dengan senyum khasnya yang lebar dan lesung pipit di kedua pipinya. Dia orang yang sangat ramah dan mudah akrab dengan siapa saja.
Dia sudah tidak berteman denganku di sosmed. Aku tahu dia me-remove pertemanan denganku sejak tahu kabar perjodohanku dengan Safira. Dan sepertinya dia juga mem-blok ku dari daftar kontaknya. Entahlah, aku tidak pernah mencoba menghubunginya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Perawan (Telah Terbit)
General FictionSebuah kisah yang menyuguhkan cinta dan dilema pernikahan yang tidak biasa. Adalah sebuah keistimewaan tersendiri bagi seorang lelaki untuk menikahi wanita yang masih perawan. Tentu saja, dia menjadi orang pertama yang menyentuh sang Istri. Namun ap...