Epilog

3.7K 66 9
                                    


7 tahun kemudian

=== Safira ===

Sebuah bingkai foto terpajang dengan apik di atas meja tulisku, di antara deretan kitab-kitab ilmu lughah Al Arabiyyah.

Wajahku nampak tersenyum sumringah di foto itu meskipun aku tidak tahu apakah isi hatiku juga sesumringah wajahku di sana. Terkadang kutipan gambar tidak selalu menunjukkan citra yang sebenarnya.

Kulihat diriku di foto itu mengenakan abaya hitam dan jilbab putih yang rapi serta selempang dan medali wisuda yang terkalung elegan di leherku. Tanganku memegang piagam wisudawati Dirasah 'Ulya jurusan Lughah Al-Arabiyah yang kuperoleh selama berkuliah di Mesir.

Bagiku hal itu adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Di usiaku yang baru menginjak 30 tahun aku sudah memperoleh gelar doktoral.

Hari itu seharusnya adalah hari syukuran sekaligus hari reunianku bersama teman-teman seperjuanganku di pondok dulu. Namun sepertinya pertemuan itu tidak berjalan sesuai yang aku harapkan.

"Maaf banget, Ra. Aku harus nemenin anakku hari ini. Dia ikut seleksi lomba hafidz cilik. Entar kalau aku gak ada hafalannya jadi buyar semua. Maaf ya, Ra. Lain kali insya Allah kita bisa ketemuan. Oke?" ujar Qanita saat menelponku pagi itu.

Aku hanya mengiyakan meskipun aku tahu kata "lain kali" itu terlalu sulit terwujud.

Ah... Aku tidak pernah menyangka kalau Qanita, sahabat karibku yang dulu selalu ada saat aku butuhkan kini telah mengabaikanku. Begitupun sahabat-sahabatku yang lain sesama "Kabilah Kepompong". Mereka beberapa tahun terakhir ini sudah sangat membosankan.

Hari-hari mereka disibukkan dengan urusan suami dan anak-anak mereka yang berderet seperti kereta api. Bahkan mengobrol di telepon pun mereka selalu terburu-buru seperti sedang dikejar anjing gila.

Sungguh perlakuan yang tidak sepadan untukku yang selalu meluangkan waktu untuk berkumpul dengan mereka. Bahkan di saat sibuk sekalipun.

Ah, polanya akan selalu seperti itu. Begitulah tabiat para lelaki. Mereka hanya ingin mengekang istri-istri mereka di rumah demi memuaskan syahwat mereka yang tiada habisnya. Menitipkan benih sesuka hati mereka, membiarkan istri mereka kesakitan saat melahirkan, lalu sibuk mengurus ompol bayi. Aktifitas yang tiada habisnya itu perlahan tapi pasti mengubur segala cita-cita luhur istri mereka.

Lalu saat sari manis istri mereka habis, sisa sepahnya mereka buang ke tong sampah dengan entengnya. Lalu memilih menikah lagi dengan daun muda yang masih segar atas nama sunnah poligami.

Lelaki...

Memoriku tiba-tiba berkelana mengingat tampang para lelaki yang Abi dan Ummi tawarkan padaku. Kebanyakan dari mereka hanya terpesona dengan wajahku. Terlihat jelas dari sorot mata mereka yang seperti siap menerkamku di saat aku lengah.

Lalu apakah mereka kagum dengan gelar dan pendidikan yang telah kuraih? Tidak sama sekali. Mereka malah menganggap pendidikanku terlalu ketinggian buat mereka.

Di sisi lain mereka seringkali merendahkan statusku yang janda. Bagaimanapun janda di mata mereka adalah bekas pakai. Barang second.

Lalu anehnya ketika mereka mendengar selentingan rumor yang entah darimana yang mengatakan bahwa aku masih perawan, bukannya mereka senang malah makin menjauh dariku. Pergi tanpa meninggalkan alasan yang jelas.

Mungkin sebagian dari para lelaki itu termakan gosip murahan yang mengatakan aku punya kelainan mental.

Ah, lupakanlah. Orang yang mudah termakan gosip seperti mereka tidak layak untuk dipertahankan. Setidaknya aku beruntung karena Tuhan sudah menunjukkan borok mereka padaku sebelum menikah.

Lalu belakangan ini ketakutan para lelaki itu kian bertambah saja. Konon aku sudah terlalu tua untuk mereka. Hanya karena umurku yang sudah kepala 3.

Ah, yang benar saja! Lupakah mereka pada Bunda Khadijah? Seorang janda yang umurnya bahkan lebih tua 10 tahun daripada umurku sekarang.

Mereka mengaku umat Islam yang taat, tapi menikahi janda yang lebih tua dari mereka, mereka enggan. Padahal Rasulullah s.a.w, nabi mereka, mencontohkan dengan nyata saat menikahi Khadijah.

Di sisi lain mereka bernegosiasi untuk meminta mahar yang rendah lantaran umur dan status jandaku.

Padahal Rasulullah s.a.w. kala meminang Khadijah mengantarkan mahar 100 ekor unta merah. Tolonglah, kalau mau menerapkan ilmu agama jangan dipilah-pilih sesuai syahwat kalian saja!

Sungguh semua urusan yang berkaitan dengan pernikahan dan tingkah polah laki-laki membuatku menjadi semakin muak saja.

Aku menyudahi buku bacaanku malam itu. Lalu merebahkan tubuhku di atas kasur yang empuk namun terasa dingin.

Aku tidak pernah membayangkan bagaimana seorang wanita bisa menghabiskan waktu sepanjang malam dengan laki-laki yang asing.

Lalu sesaat sebelum memejamkan mata, bulu kudukku serasa merinding. Punggungku terasa aneh. Aku tiba-tiba mengingat sebuah pelukan yang lembut yang pernah menyentuh permukaan kulitnya.

Aarrrgghhh...

Aku sungguh tidak ingin mengingatnya. Sudah lama kulupakan sosok yang terlalu biasa itu. Bahkan nama lengkapnya pun sudah aku lupa.

Aku seketika bangkit dari tempat tidurku. Lalu ke kamar mandi dan berwudhu. Kutatap wajahku sendiri di depan cermin. Lalu sebuah pertanyaan menghinggapi pikiranku.

"Apa sebenarnya yang kamu cari, Safira?"

===

Pengantin Perawan (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang