Malam itu aku pulang ke apartment-ku yang terasa lengang. Tidak banyak hal yang berubah di sini sejak sebelum aku menikah. Sebelum atau setelah menikah rasanya sama saja.
Kecuali keberadaan beberapa koper berisi pakaian yang Safira bawa dari rumahnya. Yang bahkan belum sempat dia pindahkan isinya ke dalam lemari sebelum dia pergi ke pondok.
Safira masih berada di pondoknya. Kegiatan daurah-nya berakhir tiga hari lagi. Sebagian diriku merindukan dia kembali, tapi entah kenapa sebagian diriku yang lain menginginkan dia tetap di sana.
Weekend kemarin aku sengaja tidak mengunjunginya. Alasanku karena ada pertemuan mendadak dengan salah seorang klien kantor. Meskipun bukan itu alasan yang sebenarnya. Melainkan aku merasa mengunjunginya pun rasanya sia-sia belaka. Hanya menghabiskan waktu dan tenagaku saja.
Pertemuan dengan Melissa beberapa hari yang lalu benar-benar membuatku berpikir keras. Namun apakah layak jika aku mengikuti saran Irman yang terlalu nyeleneh itu?
Berpoligami jelas bukan opsi yang terpikirkan olehku saat ini. Itu hanya akan menambah masalah baru dalam rumah tanggaku yang sudah terlampau pelik.
Aku tidak ingin membuat masalah hidupku menjadi semakin runyam dengan kehadiran istri kedua. Terlebih lagi, aku tidak ingin menempatkan Melissa sebagai tumbal dari rusaknya hubungan rumah tanggaku. Sedangkan aku tidak benar-benar mencintainya. Bukankah hal itu akan semakin menyakitinya saja?
Di sisi lain, aku merasa opsi untuk bercerai bukanlah solusi yang kuinginkan. Bagiku masih terlalu dini untuk mengakhiri semua ini. Aku masih ingin terus membersamai Safira, istri yang kucintai. Menjadi suaminya meskipun hanya sebatas status di atas buku nikah saja. Itu bahkan sudah cukup buatku ketimbang harus kehilangan dia seutuhnya.
Ya, aku sudah memilih untuk menikahi Safira. Maka aku harus bertanggung jawab atas pilihanku itu. Dan menghadapi semua masalah yang mungkin akan terjadi. Bagiku, berpoligami atau bercerai hanyalah upaya pengecut untuk melarikan diri dari segala masalah rumah tanggaku. Aku tidak boleh lari dari masalah ini. Aku harus menghadapinya.
-----
Saat jadwal kepulangan Safira tiba, Abi dan Ummi menelpon bahwa mereka menawarkan diri untuk menjemputnya dengan alasan mereka kebetulan ada agenda pengajian yang melewati lokasi pondok Safira.
Kupikir hal itu tentu adalah rencana yang saling menguntungkan, sebab aku masih harus berkutat dengan urusan kantor yang seabrek dan sulit meluangkan waktu untuk ke pondoknya lagi. Akupun mengiyakan rencana itu sambil menunggu kedatangan mereka di apartment.
Sore itu, Safira, Ummi dan Abi telah tiba di rumah. Sedangkan aku baru pulang sekitar pukul 7 malam dan mendapati mereka sedang berbenah di apartment-ku.
Ummi menyambutku dengan sangat ramah begitu menyadari kedatanganku. Dia memelukku dengan hangat. Begitupun Abi. Aku salim pada mereka dan mencium punggung tangan mereka satu per satu.
Safira yang sedang berada di kamar dipanggil keluar oleh Umminya. Dia lalu menghampiriku dan mencium tanganku. Aku lantas mengusap kepalanya dengan lembut. Aku merasa telah menjadi suami lagi.
Aku sungguh tidak percaya bahwa sebagian diriku tadi mengharapkan dia tidak kembali. Sedangkan baru kusadari betapa aku ternyata amat merindukannya.
Ummi lantas melanjutkan kegiatannya yang terputus karena menyambutku tadi. Rupanya dia sedang sibuk melengkapi segala kelengkapan di dapur mungilku itu. Mengisinya dengan sejumlah piring, sendok dan berbagai peralatan masak lainnya. Bahkan mengisi kulkasku dengan berbagai makanan yang siap santap hanya dengan memanaskannya beberapa menit saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Perawan (Telah Terbit)
General FictionSebuah kisah yang menyuguhkan cinta dan dilema pernikahan yang tidak biasa. Adalah sebuah keistimewaan tersendiri bagi seorang lelaki untuk menikahi wanita yang masih perawan. Tentu saja, dia menjadi orang pertama yang menyentuh sang Istri. Namun ap...