Sembilan

2.3K 54 1
                                    

Aku baru saja selesai shalat subuh ketika Ummi menelponku. Melalui pembicaraan di telpon, Ummi dan Abi pamit berangkat ke bandara sebelum bertemu dengan arus macet di pagi hari. Aku mengiyakan dan meminta maaf karena tidak sempat mengantar mereka ke bandara.

"Tidak apa-apa, Nak. Justru kami yang minta maaf karena sudah merepotkan Nak Adit," kata Ummi di ujung telepon.

"Gak masalah Ummi, hati-hati di jalan," kataku.

"Safira Ummi tinggal di apartment ya. Tolong Nak Adit awasi makannya ya. Soalnya dia malas banget makan. Ummi sudah nyiapin semur dan rendang di kulkas. Tinggal diangetin aja" kata Ummi dengan nada kuatir yang terdengar jelas di suaranya.

Aku sangat memaklumi kekuatiran Ummi. Memang sangat berat bagi Ummi untuk berpisah dengan anak perempuan satu-satunya itu. Apalagi bungsu. Yang kutahu, anak bungsu akan selamanya terlihat seperti balita di mata ayah dan ibunya. Terlebih lagi mereka sudah berpisah sejak Safira harus tinggal di pondok sejak kecil, sungguh mereka sebenarnya telah kehilangan banyak waktu untuk bersama.

"Iya Ummi" kataku menekankan bahwa aku akan menjaga anaknya dengan baik.

Setelah mengucapkan salam, Ummi lantas menutup telponnya.

Aku lalu mengambil handuk yang kubawa di ransel dan mandi di kosan Irman. Kebetulan jarak kosan Irman ke kantor lebih dekat, jadi aku memang berencana berangkat dari tempat itu.

Aku lalu mengirimkan pesan ke Safira.

"Kakak langsung berangkat ke kantor ya" tulisku pendek. Semenit kemudian pesan itu bertanda telah terbaca. Safira terlihat mengetik sesuatu, kutunggu beberapa saat tapi sepertinya tidak jadi.

Awalnya ada rasa penasaran tentang apa yang mau dia sampaikan tapi beberapa menit kemudian aku mengabaikannya dan segera bersiap ke kantor.

Sambil membuat roti lapis mentega, Irman sepertinya akan memulai lagi ceramahnya.

"Apa mungkin istri lo gak tahu caranya?" tanya Irman penasaran.

Ada rasa menyesal yang tiba-tiba muncul di hatiku karena telah menceritakan urusan rumah tanggaku yang terlalu sensitif ke orang lain. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Lagipula kalau aku memendamnya sendiri mungkin aku akan jadi gila. Setidaknya ada Irman tempatku berbagi meskipun saran-saran dan ide-idenya cenderung berlebihan.

"Ya... gak senaif itu juga sih Bro" jawabku mengelak.

Aku benar yakin, di umurnya yang sudah baligh seharusnya Safira sudah tahu bagaimana berhubungan suami istri. Entah tahu dari mana, tapi Tuhan selalu punya cara untuk memberikan ilham soal itu kepada setiap makhluknya. Buktinya, hewan mamalia saja bisa tahu sendiri tanpa harus belajar apa-apa.

"Aku yakin di tahu kok. Mungkin di pondoknya juga sudah diajarin soal kewajiban-kewajiban istri," tambahku.

Irman nampak mengangguk-angguk atas jawabanku itu, namun sedetik kemudian menggeleng-geleng.

"Kayaknya gak cukup. Sekedar tahu aja gak cukup. Bro. Kalau gak dipraktekin sama aja bohong kan? Misal lo mau makan rendang, lo udah dikasi tahu bahan-bahannya, lo tahu cara membuatnya. Tapi bisa gak lo makan rendang buatan lo sendiri kalau lo gak pernah mencoba untuk memasaknya. Enggak, kan? Jadi tahu aja gak cukup Bro. Mesti dipraktekin, baru bisa," terang Irman dengan bersemangat.

Aku cuma mengangguk-angguk pura-pura paham.

"Nah... lo praktekin deh tuh. Teori lo kayaknya udah bejibun deh. Tinggal lo praktekin aja. Kapan lo nikah?" tanyaku menyindirnya dengan sengaja.

Irman nampak nyengir "Hehe... tenang Bro. Gue udah punya perencanaan. Gue udah menabung, gue udah kumpulin semua ilmunya. Nah, tinggal calonnya aja yang belum ada. Wakakakak," ujarnya sambil tergelak tawa.

Pengantin Perawan (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang