Empat Belas

2.7K 53 3
                                    

Pagi itu aku terbangun dengan jutaan pikiran yang terus menggelayut di benakku. Menceraikan Safira masih terasa ganjil. Menceraikan istri yang seorang santri penghapal Al-Qur'an dari keluarga Ustadz rasanya sangat tidak masuk akal.

Mungkin akan lebih mudah bagiku menceraikannya jika dia adalah pezina atau pembunuh atau pemabuk, yang berasal dari keluarga gengster.

Tapi, istriku dan keluarganya punya banyak sisi kebaikan. Istriku seorang santri, dia rajin ikut kajian bukannya rajin ke diskotik. Kami menjalani hubungan jarak jauh bukan untuk kegiatan maksiat tapi karena Safira melanjutkan kuliah menuntut ilmu agama.

Lalu mengapa kondisi ini menjadi begitu salah?

Arrghh... kepalaku terasa berat. Aku kuatir rasa sesakku muncul lagi. Aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Namun aku merasa belum cukup hanya dengan mendengar pendapat dari Razak, mungkin aku butuh second opinion. Kupikir saran dokter waktu itu ada benarnya, aku perlu berkonsultasi dengan psikolog untuk membantuku mengatasi masalahku.

Beberapa waktu lalu Irman memberiku kartu nama seorang psikolog yang menurut dia bisa membantuku. Bernama Ustadz Rusdi, seorang psikolog sekaligus pendakwah.

Aku menghubungi nomor kontak beliau. Tanpa menunggu respon yang lama, kami sudah mengatur janji temu dan sore itu aku diminta untuk menemuinya di sebuah masjid.

Saat aku tiba di masjid tersebut, kudengar Ustadz Rusdi masih sedang mengisi sebuah kajian selepas shalat ashar. Kulihat Ustadz Rusdi nampak duduk melantai bersama beberapa jamaah di masjid tersebut sambil berceramah. Aku memang sengaja tiba sekitar 30 menit lebih awal daripada jadwal yang direncanakan agar aku bisa ikut mendengarkan ceramah beliau.

"Berapa banyak orang yang tahu shalat itu wajib tapi malas menjalankannya? Berapa banyak Muslimah yang tahu berhijab itu wajib tapi enggan melakukannya? Berapa banyak Muslim yang tahu menikah itu ibadah tapi tidak mau mengusahakannya? Berapa banyak orang mampu yang tahu naik haji itu wajib tapi enggan menjalankannya?"

"Berapa banyak orang yang tahu berzina itu dosa tapi tetap melakukannya? Berapa banyak orang yang tahu korupsi itu dosa tapi tetap mengerjakannya? Berapa banyak orang yang tahu merokok itu buruk tapi tetap menikmatinya? Berapa banyak orang yang tahu surga itu indah tapi enggan mengejarnya? Berapa banyak orang yang tahu neraka itu mengerikan tapi tidak menghindarinya?"

"Begitulah manusia. Diperintah pun belum tentu mengerjakan. Apalagi tidak diperintah?

Dilarang pun masih tetap melakukan. Apalagi tidak dilarang? Maka untuk melaksanakan ibadah bukan hanya sekedar tahu, tapi butuh kesadaran dan tekad untuk mengamalkannya"

"Untuk menghindari maksiat bukan hanya sekedar tahu tapi butuh kesadaran dan tekad untuk menghindarinya. Kesadaran dan tekad sulit muncul begitu saja jika tidak diawali dengan dukungan, paksaan dan pembiasaan. Keikhlasan itu seringkali tidak muncul begitu saja. Butuh dilatih."

"Kapan kita pertama kali puasa? Saat masih kecil? Apakah kita akan langsung ikhlas menjalankan kewajiban itu? Boleh jadi tidak. Kita akan merasa terpaksa. Tapi kita berjuang untuk puasa. Maka untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama dalam kondisi tertentu perlu paksaan. Begitupun halnya dalam menghindari dosa. Perlu untuk memaksa diri. Meskipun ancaman neraka ada membayangi tapi tanpa memaksa diri ternyata tetap tidak bisa dikerjakan kalau membiarkan diri terus berleha-leha."

Aku menyimak ceramah Ustadz Rusdi sore itu dengan seksama. Sungguh mendatangkan banyak pencerahan untukku. Beberapa menit kemudian sesi ceramah beliau berakhir. Kulihat beberapa jamaah nampak menyalami Ustadz Rusdi sebelum mengundurkan diri dari majelis tersebut.

Aku langsung menghampiri beliau, menyalaminya lalu memperkenalkan diri bahwa akulah yang membuat janji temu dengannya sore itu. Beliau nampak antusias dan tersenyum ramah saat menyambut salamku.

Pengantin Perawan (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang