Sepuluh

2.4K 47 1
                                    

Seminggu berlalu dengan sangat lama. Menanti masa haid istri yang belum pernah disentuh rasanya seperti selamanya. Buku yang sudah kubelikan untuk dia entah sudah dibaca atau tidak. Aku bahkan tidak tahu buku apa yang kubelikan untuknya. Mungkin tidak menarik. Karena kulihat dia masih sibuk dengan ponselnya di waktu senggang. Kupikir, dia sibuk dengan teman-temannya dan hanya mengirimkan chat untukku jika ingin menitip sesuatu.

Sebenarnya sikap dingin Safira sudah mulai berkurang namun kupikir apa gunanya? Aku malah menjadi malas untuk menyentuhnya. Dan memilih untuk membenamkan diri dalam segala urusan pekerjaanku.

Di saat yang sama, aku diberi tugas untuk membuat perancangan untuk proyek bangunan yang akan dikerjakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Bang Rifki selalu mempercayaiku untuk mengerjakan tugas yang menuntut ketelitian. Kemampuanku untuk mengerjakan hal semacam itu sudah banyak terbukti dan seringkali mendapatkan pujian. Aku selalu bisa menemukan rancangan metode yang praktis, ekonomis dan tentu saja mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Hal yang sangat disukai oleh atasanku.

Jika mengingat potensi intelektual dan prestasiku di dunia kerja sungguh membuatku merasa miris. Karena di sisi lain aku merasa tidak becus membina rumah tanggaku sendiri.

Sudah berlalu seminggu dan kupikir seharusnya istriku sudah bersih hari ini. Aku menimbang-nimbang untuk tetap menjadi temannya atau menjadi lebih dari sekedar teman. Teman tapi mesra? Sepertinya boleh dicoba.

Lalu sore itu, tiba-tiba ada rapat mendadak untuk semua divisi. Hawa-hawa lembur menggelayut di udara dan membuat semua karyawan merasa gelisah. Tidak ada yang tahu pasti agenda apa yang sedang ingin dibicarakan. Tapi tidak biasanya ada rapat mendadak seperti ini.

Ruangan meeting sudah dipenuhi oleh seluruh karyawan yang jumlahnya sekitar 50 orang. Kami mencari tempat duduk dengan agak bersempit-sempit. Di depan kami sudah ada CEO Pak Siswono yang sedang berkacak pinggang dan menunjukkan raut muka yang kusut.

Tidak seperti biasanya. Kami mengenal CEO kami sebagai sosok yang ceria dan bersahabat. Sepertinya memang sedang ada masalah yang berat.

"Saya mau semua divisi finance dan perencanaan duduk di kursi paling depan!" ujar Pak Siswono dengan suara yang tinggi.

Wajahku terasa pias. Aku karyawan di divisi perencanaan. Dengan hati-hati aku dan sejumlah karyawan lainnya duduk di kursi sesuai yang Pak Siswono minta. Kulirik Irman yang bekerja di divisi finance. Wajahnya juga menunjukkan kecemasan yang sama.

Pak Siswono mulai menggali masalah yang tengah dihadapi oleh perusahaan kami. Dia banyak bicara dengan nada emosional dengan Bang Rifki sebagai manager di divisi perencanaan dan Bang Bayu, manager finance. Kulihat dua orang itu menjelaskan sambil membungkukkan badan.

"Terus, siapa yang mengurus model perencanaan?" kata Pak Siswono kemudian.

Aku melengos. Aku yang mengurusnya selama sebulan lebih ini. Kudengar Bang Rifki menyebut namaku dengan ragu-ragu. Aku lantas mengangguk mengiyakan.

"Aditya? Gue gak nyangka kalau lo bisa bikin masalah serunyam ini!" bentak Pak Siswono yang nampaknya sudah tidak peduli pada urusan sopan santun berbahasa.

Aku bingung. Sungguh tidak merasa melakukan sebuah kesalahan. Aku sudah mengerjakan tugas tersebut sejak magang di perusahaan ini. Akulah ahlinya. Masalah serunyam apa yang kuperbuat?

"Lo gak nyadar?" kata Pak Siswono melihat kebingunganku.

Aku tidak tahu apa harus menggeleng atau mengangguk atas pertanyaan itu.

"Sama seperti lo gak nyadar agregat apa yang lo masukkin di model" ujarnya geram.

Jujur, aku benar-benar tidak ingat agregat apa yang aku masukkan. Sungguh, hal itu sebenarnya urusan remeh temeh yang entah kenapa luput dari ketelitianku.

Pengantin Perawan (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang