Matanya hanya terpejam sebentar.
Im Nayeon menguap untuk kesekian kalinya. Kepalanya sudah terantuk-antuk karena menahan kantuk yang tidak tertahankan. Semalam ia kurang tidur, dan pelajaran hari ini benar-benar membuatnya bosan. Seharusnya tadi ia ikut Jennie ke toilet.
"Jennie belum kembali."
"Aku tahu." Nayeon menguap lagi.
"Sudah lima belas menit."
"Aku tahu."
Kim Mingyu mendengus. Wajahnya ia tumpu dengan satu tangan di atas meja. Guru di depan kelas terus menerangkan materi seperti membaca dongeng. Ia juga mau pergi ke toilet. Ke mana saja asal tidak di kelas ini. Tapi aturannya jika satu orang izin keluar, maka tidak ada yang boleh keluar sebelum orang pertama kembali.
"Bukan hanya kau yang bosan."
Nayeon mencorat-coret lembaran bukunya berharap rasa kantuknya hilang. Tanpa ada ponsel, musik, atau setidaknya makanan yang dapat membuatnya tetap terjaga. Tampaknya hanya dua barisan depan yang betul-betul memperhatikan materi. Sementara ada banyak anak di barisan paling belakang sudah terlelap tidur. Ia sendiri berada di barisan tengah, bersebelahan dengan jendela yang menghadap ke koridor.
Namun perkataan Mingyu benar. Jennie belum kembali. Sudah terlalu lama jika hanya pergi ke toilet yang jaraknya tidak sampai tiga puluh kaki. Ia melirik guru yang berdiri di depan kelas dengan buku menghalangi wajahnya. Kalau dipikir-pikir, ia bosan juga.
"Aku akan menyusul Jennie."
Nayeon mendelik. "Kau akan menyusulnya ke toilet?"
Mingyu membuka mulutnya, hendak membalas. Tapi kemudian ia terdiam sembari mengusap tengkuknya canggung. "Benar juga."
Nayeon tersenyum. "Kalau begitu aku saja."
Mingyu agak menyesal menyuarakan idenya pada Nayeon. Padahal seharusnya ia yang keluar. Suntuk sudah pikirannya terus ditarik paksa hingga tenggelam dalam lautan puisi yang dilantunkan gurunya seperti dongeng. Dirinya bahkan tak mengerti sepatah kata pun dari apa yang diceritakan gurunya dengan penuh penghayatan.
Matanya melirik sinis ketika Nayeon berdiri sembari menjulurkan lidah diam-diam setelah mendapat persetujuan untuk keluar kelas. Ia mendengus dan menenggelamkan kepalanya di balik tangan yang terlipat di atas meja. Ditegur atau tidak ia tak peduli. Jika bisa, ia ingin ditegur saja dan disuruh keluar kelas.
Hal pertama yang Nayeon lakukan ketika akhirnya ia menapaki lantai koridor adalah menghirup napas dalam-dalam penuh kelegaan. Di dalam begitu sesak rasanya. Barangkali karena jendela yang jarang dibuka hingga beberapa di antaranya benar-benar tak dapat terbuka karena macet.
Kelasnya berada paling ujung di lantai dua. Sangat dekat dengan tangga sayap kanan yang cenderung sepi. Pikirnya Jennie pasti masih berada di toilet, duduk di meja wastafel dan tidak melakukan apa-apa. Hanya mengulur waktu selama mungkin sampai setidaknya tersisa setengah jam pelajaran berakhir. Ia selalu melakukan itu setiap pergi ke toilet.
Bunyi decitan sepatu terdengar, diikuti gumaman samar seseorang mendekat dari balik koridor. Nayeon menghentikan langkahnya. Suara itu seperti mengulang-ulang gumaman yang sama, tetapi ia tetap tak dapat menangkap jelas apa yang diucapkan. Nayeon mempercepat langkahnya menuju sumber suara dari koridor lain di sebelah kanan.
Nayeon bergeming. Kakinya baru menapak belokan lorong ketika mendadak sekelebat tubuh seakan melayang langsung menuju mulut tangga yang kosong. Pemandangan itu terjadi dengan begitu cepat. Tahu-tahu sudah terdengar bunyi gedebuk dan seseorang yang mengaduh kesakitan disertai jeritan saat ia duga kepalanya membentur anak tangga dengan tubuhnya yang berguling-guling di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead Attack I : The Tragedy [REVISI VER]
Fanfiction⚠️ CERITA BERBEDA DARI VERSI LAMA⚠️ Dead Attack I: The Tragedy Peristiwa itu mengubah segalanya. Peristiwa pada sore hari itu akan selamanya terus membekas di ingatan mereka yang berhasil melarikan diri dari sekolah. Lapangan yang penuh dengan tawa...