Daniel terbangun saat mendengar suara kicau burung saling bersahutan dari luar. Matanya mengerjap pelan sembari menegakkan tubuh. Ia meringis memegangi bahu dan merematnya pelan. Tidur dengan tubuh pegal-pegal di lantai dengan posisi yang tidak nyaman membuat sekujur tubuhnya ngilu. Kepalanya menoleh, lega mendapati Lisa masih berada di tempatnya, terlelap dengan posisi duduk dan tangan terlipat di depan dada.
Seingatnya ia terjaga sepanjang malam, kesulitan tidur. Tetapi entah bagaimana tahu-tahu cahaya pagi sudah menyambutnya ketika membuka mata. Daniel mengusap wajahnya jenuh. Menyadari hari sudah berganti dan kecewa karena rupanya ini bukan mimpi.
"Mengecewakan, ya?"
Daniel bergeming sesaat sebelum menoleh ke samping. Dipandanginya Lisa yang masih bertahan pada posisinya dengan mata terpejam. Tak lama gadis itu segera bangun, memperbaiki posisi duduknya dan menghela napas pelan.
"Ternyata kita masih di sini," lirihnya.
Daniel mendecih, lantas tertawa sarkas. "Yeah. Keren sekali kita masih hidup." Ia membenturkan kepalanya pelan ke dinding, membiarkan wajahnya menengadah pada langit-langit ruangan. "Jadi, bagaimana? Apa setelah nyaris kehilangan nyawa dua kali di tangan makhluk yang kausebut Jaemin itu, kau masih mau mencarinya?"
Lisa mendengus kecil, ia menumpu wajah pada kedua lututnya yang tertekuk. "Kautahu bagian paling gila dari semua ini? Ya, aku masih mau mencarinya."
Daniel berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia sudah menduga jawaban Lisa akan seperti itu. Tetapi ia hanya diam dan mendengarkan. Ia pikir perkataannya kemarin sudah cukup menampar Lisa untuk bangun.
"Aku tahu ini terdengar bodoh. Aku hanya ... tidak mempercayainya, kau tahu. Hanya beberapa jam terjebak di tengah kekacauan ini saja sudah cukup membuat orang-orang normal seperti kita kehilangan akal sehat tanpa harus berubah menjadi monster. Seperti kau harus memilih antara hidup atau mati, berkorban atau dikorbankan, membunuh atau dibunuh." Lisa memandangi ujung sepatunya dengan sendu. "Bagaimana dengan besok? Lusa? Seminggu kemudian? Bagaimana jika seandainya kekacauan ini takkan pernah menemukan jalan keluarnya?"
"Memang bodoh." Daniel mendengus kecil, tersenyum. "Apa yang membuatmu berpikir demikian? Kau takut Jaemin akan selamanya seperti itu? Kau berpikir bahwa kita akan terjebak seperti ini selamanya?" Daniel menatap Lisa, mencari keraguan pada matanya.
Lisa mengedikkan bahu. "Apa pun bisa saja terjadi, bukan? Kau lihat bagaimana mayat-mayat yang berserakan di lorong, teman-teman kita yang berubah menjadi kanibal, sekujur tubuh yang bermandikan darah?"
Daniel menggaruk kepalanya. "Yah, memang benar. Tapi bukan juga sebuah kebetulan kita masih hidup, 'kan? Kita tidak menjadi mayat atau kanibal. Meski pada awalnya kita semua ketakutan dan nyaris mati, selalu ada jalan keluar yang membuat kita tetap bernapas dan waras hingga saat ini. Jadi kupikir, meski semua kejadian ini mengerikan, aku yakin akan ada jalan keluarnya suatu saat nanti."
Lisa hanya mengangguk samar. Tidak meragukan atau meyakini sepenuhnya. Karena bagaimanapun juga, tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Bukannya ia tidak yakin akan bisa keluar dari sini, hanya saja di setiap kejadian semacam ini lebih baik jika memikirkan kemungkinan terburuk. Memasang ekspektasi terlalu tinggi hanya akan membuatmu kecewa.
"Menurutmu kapan mereka akan kembali?" Lisa mengganti topik.
Daniel terdiam. "Kau benar juga. Mereka belum kembali sejak semalam."
"Apa kaupikir mereka mengalami sesuatu yang bu—"
Belum selesai perkataannya, tiba-tiba terdengar jeritan nyaring dari luar. Daniel dan Lisa sontak menegang. Rasanya seperti déjà vu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead Attack I : The Tragedy [REVISI VER]
Fiksi Penggemar⚠️ CERITA BERBEDA DARI VERSI LAMA⚠️ Dead Attack I: The Tragedy Peristiwa itu mengubah segalanya. Peristiwa pada sore hari itu akan selamanya terus membekas di ingatan mereka yang berhasil melarikan diri dari sekolah. Lapangan yang penuh dengan tawa...