"Share the happines. And make the other people smile."
—Meet him, Budi
Male. Dalam perjalanan ke angka delapan belas. Namanya singkat. Paling cepat bila ngisi keterangan diri di lembar jawaban Ujian. Ketua kelas akibat paksaan dari wali kelas. Tolol-tolol ngangenin. Dengan paras biasa. Kayak bolpoin. Standard.
Jarang kumpul dalam kelas. Kerjaanya keluyuran kayak tuyul. Malem-malem suka ngeluyur, udah dituduh mau maling. Nggak taunya nyari wifi gratis. Wangi aroma tubuhnya kayak kamboja, bercampur cendana. Suka merokok katanya. Padahal mempercepat mati saja.
Tanggung jawab. Tapi bersumbu pendek. Suka nyolot. Dan emosinya jarang bisa dikendaliin. Punya senyum sehangat purnama. Dan tangan yang cekatan. Tubuhnya proposional, cocok kalo dijadiin paskibraka. Tingkahnya gemesin kayak pacar. Kalo ada di Shopee mungkin bisa pesen satu. Kalo cerita kayak rumus volume balok. Panjang x lebar x tinggi.
Pernah sengaja buru-buru mematikan rokok disaat rokoknya tinggal separuh karena ada seorang Alta yang tak sengaja melihat. Kira-kira kenapa ya?
***
Budi
Kata Ibu, apapun yang terjadi harus disyukuri. Maka dari itu, sekalipun gue masuk ke kelas bobrok gue harus tetep bersyukur. Tapi bagaikan jatuh ketimpa batu. Selain masuk kelas bobrok gue juga dijadiin ketua kelas akibat paksaan dari Bapak Bams terhormat.
Yang ini gue keberatan. Soalnya lebih berat dari pada rindunya Milea. Si Dilan kalo disuruh nanggung juga nggak bakal kuat.
Gue itu tolol dan goblok mana bisa jadi ketua kelas. Mengingat gue juga bersumbu pendek kalo ada yang dikit ngebacod. Dan yang paling penting!! Gue nggak tahu gimana caranya jadi ketua kelas.
Gue sering lari dari tanggung jawab. Dan cukup membuat beberapa orang kesel dan benci sama gue. Mereka ngira gue nggak becus dan sebagainya. Gue nggak munafik. Gue akuin, gue emang nggak bisa jadi ketua kelas. Dan saat itu, gue nemu ada yang mandang gue beda.
Ada tatapan yang sayu bercampur rasa kagum ke gue. Tatapan yang seolah memaklumi. Sambil diam-diam tatapan itu merapalkan bahwa dia penasaran sama gue.
Awalnya gue anggep cuma tatapan biasa. Tapi, makin kesini tuh aneh. Kayak cuma dia yang mau mandang gue kayak gitu. Cuma ditatapannya gue seolah bisa bercerita panjang lebar tanpa buka mulut. Rasa gue makin berkembang ketika guru Bahasa Inggris ngebuat gue satu kelompok sama dia.
Guru bahasa Inggris gue tuh kayak cenayang. Jadi gue pikir, si anak yang di kelompokin sama gue ini adalah yang cocok buat gue. Gue yang terlalu sering bolos sama ngeluyur gak tahu apa-apa soal pelajaran. Tapi dengan sabarnya dia ladenin gue yang berisik ini.
Dan lo tahu, gue sampai dipuji guru Bahasa Inggris karena untuk pertama kalinya seorang Budi bisa ngerjain soal. Hari itu selepas kelompokan, gue sengaja duduk disampingnya. Gue bercerita panjang lebar. Dari yang awalnya basa-basi sampe akhirnya gue nemu pancaran yang gue cari selama ini.
Hari itu dengan niat gue gambar namanya di kertas bekas yang ada dimeja. ALTA LEMBAYUNG DANANTA. Indah kan namanya. Gue juga suka kok. Sampe akhirnya gue mau nulis #21 dia malah nyolot, "Jangan 21. Ulang tahun gue itu tanggal 16 September 2002."
#160902
Gue masih inget. Sampe akhirnya, ada satu pesan nyasar di Handphone gue. "Save. Ini Okta kan?" Masak iya nomer cogan dikira nomer kudanil (maapkan aghu mbak Okta). Gue jawab nggak. Sampai akhirnya gue nyari topik pembicaraan agar terus chatingan sama dia.
Rasa itu pelan tapi pasti tumbuh. Gue lama-lama takut dia nggak nerima gue yang suka ngerokok ini. Tapi suatu hari, gue tanya ke dia. "Gue mau ngerokok boleh nggak?"
Dia cuma senyum terus jawab, "Boleh. Jangan kebanyakan. Nanti kalo udah puas. Cerita sama aku."
Gue makin suka dia. Sayangnya dia nggak peka. Berkali-kali gue ngode. Dianya bego. Kebanyakan hafalin rumus Fisika ya gini. Bahkan sekalipun gue ngode pakek lagu. Pakek sandi yang gue tulis di tangannya.
Tetap aja dia nggak peka.
Tapi saat itu, gue terlalu pengecut untuk ngambil resiko. Gue terlalu takut untuk mengungkapkan perasaan gue. Gue terlalu takut untuk andai-andai yang gue buat sendiri.
Sampai-sampai gue sadari, bukan cuma gue yang pingin sama dia.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Predestin
Teen FictionSpin of Kelas Archimedes Kelas Archimedes Romance Ver. SMA Cendekia's universe Ketika sebuah rasa terhalang oleh rasa persahabatan. Ketika yang menghangat mulai mencairkan suasana. Ketika yang terbiasa mulai diam-diam memanggut rasa. Akankah, hakika...