Jangan Ditunda

1.3K 173 36
                                    

Merencanakan kehamilan memang perlu, Ilea dan Al sedang bersantai di ruang tengah. Posisi Ilea melendot tubuh Al yang setengah berbaring di kursi panjang depan televisi.

"Beb, menurut kamu kita sebaiknya menunda kehamilan atau biarkan saja sedikasihnya Allah?"

"Anak salah satu rezeki. Kamu mau menolak rezeki? Sedangkan setiap kita berdoa tidak luput meminta rezeki kepada-Nya."

"Iya sih. Ya sudah."

"Ya sudah apa?" Al menggoda Ilea, mencolek-colek pinggangnya sampai tubuh wanita itu menggelinjang.

"Beeeeeb, jangan begitu ah! Geli," rengek Ilea bernada manja.

"Ya sudah, kita bikin yuk!" ajak Al melirik dan tersenyum menggoda.

"Ih, bikin terus." Ilea sok menolak, padahal dalam hati mau.

"Biar cepet jadi."

"Gimana kuliahku kalau nanti hamil?"

"Kuliah sambil hamil, kan, nggak dilarang? Lebih baik cepat hamil, nanti kalau kamu sudah sibuk ngurus perusahaan, anak kita sudah besar. Setidaknya dia bisa dititipkan Mama atau Bunda. Coba deh dihitung-hitung, misalkan kamu dalam waktu dekat ini hamil, terus lulus, kira-kira usia anak kita sudah sekitar 3 tahun. Sudah bisa masuk play group, pengawasannya pun tidak terlalu repot, paling Mama atau Bunda jemput dia sekolah sama jagain sampai kamu pulang kerja. Iya, kan?"

Beberapa saat Ilea berpikir. "Oh, iya-ya. Benar kata kamu, Beb."

"Nah, ayo bikin!" Al semringah dan langsung menindih Ilea.

Mereka bercumbu hingga terjadilah hubungan suami-istri malam ini di ruang tengah. Tak masalah karena di rumah itu hanya mereka, tidak ada orang lain. Mereka bebas melakukannya di mana pun.

***

Menjadi calon dokter harus selalu siap kapan saja jika dibutuhkan. Untuk membiasakan diri kalau nanti sudah menjadi dokter profesional, kapan pun harus siap apabila dibutuhkan dalam keadaan emergency. Tengah malam Al terbangun karena ponselnya selalu berdering, Ilea yang tidur di pelukannya ikut terbangun. Al langsung mengangkat panggilan itu.

"Halo."

"...."

"Oh, baik, Sus. Saya segera ke sana," ucap Al sembari mengucek matanya.

Setelah panggilan terputus, Al meletakkan ponselnya di atas nakas.

"Ada apa, Beb?" tanya Ilea ikut bangun, dia melihat jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari.

"Aku harus ke rumah sakit, Yang. Dokter Irwan memanggilku, ada keadaan darurat yang harus ditangani," jelas Al lalu masuk ke kamar mandi mencuci mukanya dan menggosok gigi tak sempat mandi karena dia sudah ditunggu.

Setelah mengganti piyamanya dengan pakaian rapi, hem biru muda dan celana kain hitam, Al mengambil jas putih kebesarannya. Meskipun ngantuk, Ilea tetap mengantarnya sampai depan pintu garasi.

"Kamu hati-hati di rumah," ucap Al mencium bibir Ilea.

"Iya, kamu jangan ngebut. Hati-hati di jalan."

"Iya, Sayang." Setelah mencium kening Ilea, Al masuk ke mobil. Ilea membukakan gerbang. Setelah mobil Al tak terlihat, Ilea menggembok gerbangnya lalu masuk dan mengunci pintu garasi.

Sendirian di tengah malam, sudah sering Ilea alami. Dia harus bisa membiasakan diri ditinggal Al mendadak ke rumah sakit. Ilea memahami bahwa pekerjaan Al menyangkut nyawa seseorang. Dia tidak boleh egois, pekerjaan dokter hal yang mulia.

Sampainya di kamar, Ilea bingung karena tidak bisa tidur. Iseng dia video call Ulfha, dia pikir tak akan ada jawaban ternyata Ulfha menjawab.

Love in Instagram (Komplit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang