Inilah Hidup

1.6K 195 20
                                    

Setiap kali berpapasan dengan Ilea, Rehan tak berani mengangkat kepalanya. Sikapnya berubah 180 derajat, dia seperti orang bersalah dan malu. Namun, Ilea bersikap biasa saja, dia tetap menyapa Rehan walaupun tidak mendapat respons.

"Ly!" panggil Indah, teman satu kelasnya saat di koridor kampus.

"Hei." Ilea menoleh, menunggu Indah yang berlari ke arahnya.

"Ly, aku mau bicara sesuatu sama kamu. Kamu sibuk nggak?" tanya Indah sedikit sungkan.

"Mau bicara apa? Sini duduk." Ilea menarik tangan Indah mengajaknya duduk di pembatas teras koridor tersebut.

"Ly, aku dengar kamu kerja part time di kerajinan batok kelapa dan batik, ya?"

"Tahu dari mana?" tanya Ilea karena setahu dia tidak ada teman-temannya yang mengetahui hal itu.

"Eka, Ly. Dia kerja sama kamu, kan?"

Sejenak Ilea mengingat. "Oh, Eka anaknya Pak Mali yang jualan di kantin itu? Iya, dia kerja sama aku. Kenapa, Dah?"

"Boleh nggak aku ikut kerja part time, Ly? Aku lagi butuh kerjaan nih! Kamu tahu, kan, aku bisa kuliah karena dapat beasiswa, orang tuaku cuma buruh tani di sawah orang. Aku mau sedikit meringankan beban mereka, Ly. Setidaknya aku bisa bayar kosku," jelas Indah dengan wajah harap-harap cemas.

"Ya Allah, Dah. Aku kira apaan. Iya, kamu hari ini sibuk nggak? Pulang kuliah kita ke pabrik, kamu lihat dulu saja cara kerjanya bagaimana. Kalau sekiranya kamu cocok, nanti aku carikan bagian yang kosong."

"Bener, Ly?" ujar Indah dengan mata berbinar.

"Iya. Nanti kita pulang bareng, ya?" jawab Ilea dengan senyum terbaiknya.

"Iya, Ly. Terima kasih banyak." Indah sangat bahagia menggenggam kedua tangan Ilea.

Senang rasanya bisa membantu teman yang sedang membutuhkan.

***

Pulang kuliah, seperti biasa, Ilea menunggu Al menjemputnya. Sejak dia hamil, Al semakin posesif. Apa yang dikerjakan Ilea dibatasi, melarang ini dan itu. Terkadang Ilea sampai sebal saking over protektifnya. Mobil sedan hitam berhenti di depan Ilea dan Indah. Al membukakan pintu dari dalam.

"Ayo, Dah, masuk," ajak Ilea.

"Iya, Ly." Indah masuk di belakang, sedangkan Ilea duduk di depan.

"Sudah makan?" tanya Al, kebiasaan dia setiap bertemu Ilea selalu menyentuh perutnya yang masih rata. Entahlah, itu menjadi rutinitas Al yang melegakan hatinya.

"Belum. Kamu sudah pulang atau balik lagi ke rumah sakit?" tanya Ilea mengikat rambutnya biar wajah dan lehernya yang berkeringat karena kena panas segar diterpa AC.

"Sudah pulang. Kita makan di rumah atau mau cari di luar?"

"Aku nggak masak, Beb."

"Ya sudah, kita mampir ke warteg biasanya saja, ya?"

"Huum," sahut Ilea. "Eh, iya. Beb, ini Indah temenku di kelas." Ilea menggeser duduknya sedikit menyerong agar bisa melihat ke belakang.

Karena menyetir, Al hanya melihat Indah dari spion yang ada di atasnya.

"Halo," sapa Al bersikap biasa.

"Hai, Kak," balas Indah sedikit sungkan.

Dalam hati, Indah kagum dengan pasangan itu. Dia merasa iri karena Al dan Ilea terlihat berkecukupan. Padahal sebenarnya keadaan mereka tidak beda jauh dengannya, masih sama-sama berjuang di perantauan. Kalau kata orang Jawa, sawangan sinawang, artinya kita melihat orang lain hidup enak, sebaliknya, orang lain melihat kita hidup enak. Seperti itulah hidup!

Love in Instagram (Komplit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang