Cinta Sang Abdi Negara 1

6.6K 116 1
                                    

Happy reading

Altar dan Allea selalu datang ke markas senja. Begitu mereka menyebutnya, untuk menyaksikan sinar jingga yang menggantung di ufuk barat.

Tempat favorite bermain mereka, bernuansa indah dengan background panorama hijau alam pegunungan, dilengkapi lembah yang tidak cukup dalam.

Sungai dengan air jernih menambah kesejukkan suasana di tepi hutan kecil ini. Batu-batu alam kecil maupun besar berserak di sekitarnya, kian menambah pesona tempat tersebut.

"Altar! Ayo, kita pulang bentar lagi Maghrib."

"Sebentar lagi, Chubb."

"Kamu sedang apa, sih?" Mata gadis belia itu melirik sahabatnya yang sedang sibuk membuat sesuatu.

"Sudah jadi ...," sahut Altar dengan nada girang.

Anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu memperlihatkan benda yang dibuatnya, sebuah bunga yang disatukan sedemikian rupa hingga berbentuk mahkota. Si pemuda belia naik ke atas batu lalu memasangkan mahkota yang dibuatnya itu di kepala Allea yang tertutup jilbab.

Allea merasa tersanjung dengan perlakuan Altar, sahabatnya itu pandai membuatnya senang.
"Ini untukmu, Tuan Putri."

"Bagus sekali, terimakasih pangeran ceking."

"kok pangeran ceking, sih?" Wajah dibuat cemberut.

Allea terkikik geli melihatnya, "Trus apa, dong ...?"

"Kapten Altar yang tampan," Seraya membungkuk memberi hormat layaknya seorang pangeran.

"Kenapa Kapten? bukan Pangeran?"

"Karena suatu hari nanti aku akan menjadi seorang Kapten yang gagah perkasa."

"Oohh ... seperti Ayahmu ya?"

"iya "

"Tapi ...!"

"Tapi apa?" Altar melebarkan mata menunggu Allea melanjutkan kalimatnya. Gadis itu memutar bola mata, jari telunjuk diketuk-ketuk ke dagu.

"Tapi ... tetap saja ceking, hahaha ...." Gadis berumur sepuluh tahun itu tertawa sambil berlari. Tubuh yang subur membuat larinya sedikit terhambat.

Altar ikut berlari mengejar dengan mulut masih mengerucut. Dia berlari melewati Allea.

"Altar ... aku capek ...!"

Teriakan Allea, menghentikan pemuda kecil itu dari larinya, menatap iba ke arah si gadis yang luruh di atas rumput, kelelahan

Altar menghampiri. "Ayo, Chubb bentar lagi maghrib."

"Tapi aku capek."

"Yasudah, ayo naik!" Allea membulatkan mata, Altar menyuruhnya naik ke punggung kurusnya.

"Memangnya kamu kuat gendong aku?" Gadis belia itu sadar akan tubuh suburnya.

"Ayo naik saja, kamu jangan remehkan tubuhku yang kurus, aku pasti kuat."

"Yasudah." Altar si anak kurus dengan susah payah menggendong Allea. Dengan langkah tersendat-sendat anak laki-laki itu berusaha terlihat kuat.

Allea tidak tega, sahabatnya hampir kehabisan napas, meminta diturunkan. Lagi pula rumah Altar sudah terlihat, berdiri kokoh di depan mereka.

"Aku masuk dulu ya, Chubb!"

"Iya Al, aku juga segera pulang, sebentar lagi Azan, takut Umi marah."

Altar mengangguk, tiba-tiba ia mencium pipi chubby Allea. "Daahh ... Allea, Assalamualaikum."

Allea tak sempat protes, sahabatnya itu sudah berlari dan hilang dibalik gerbang tinggi rumahnya.

Cinta Sang Abdi NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang