Cinta Sang Abdi Negara 7

1.7K 62 3
                                    

Happy Reading

Keempat insan Tuhan itu, kini saling duduk berhadapan. Mereka terlibat pembicaraan serius. Keinginan Altar mengajak Allea ke markas senja terlupakan.

Maksud kedatangan Bu Hera, menyampaikan sebuah niat baik, kemungkinan membawa nama panti asuhan Nurul Hikmah terangkat. Yakni sebuah acara menyambut hari lahir putra bungsu mereka.

Keluarga Jendral Helmi Suseno, menginginkan acara ulang tahun Aldo yang ke delapan tahun, diadakan di panti asuhan bersama anak-anak yang tak memiliki orang tua tersebut.

Acara akan diadakan semeriah mungkin, selain tetangga, akan mengundang kerabat serta kawan seperjuangan Pak Helmi semasa bertugas di Infantri.

"Bagaimana Umi, apakah tidak keberatan dengan keinginan kami ini?" tanya Bu Hera penuh harap.

"Tentu saja kami tidak keberatan. Bahkan sebaliknya, kami sangat berterima kasih keluarga Bapak Jendral mempercayakan acaranya pada kami. Sungguh kami merasa terhormat."

Pemaparan umi Rita, disambut raut semringah di wajah semua orang.

"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Umi. Kalau begitu kami akan mempersiapkannya sedari sekarang."

***

Altar menghampiri kedua orang tuanya yang sedang duduk santai di ruang tamu. Sesekali sang mata elang melirik ke arah pintu, seperti sedang ada yang ditunggunya. Gerak gerik Altar sedikit mengundang tanya di hati sang Bunda.

"Hmm ... kau sedang menunggu seseorang, Nak?" Bu Hera menyalurkan rasa penasaran dengan bertanya.

"Eeng ... tidak, Bun," jawab Altar, tangannya meraih buku majalah yang teronggok di meja.

"Sejak kapan kamu baca majalah terbalik seperti itu?" Pak Helmi menatap heran sang putra, alisnya terangkat sebelah.

Shit ... Altar merutuki kebodohan dalam hati, tidak bisa menyembunyikan rasa grogi, hingga gelagat gelisahnya terbaca oleh kedua orang tua.

"Apa yang sedang kamu pikirkan sebenarnya?" Pak Helmi ingin tahu kegundahan yang dialami Altar seraya melipat koran dan meletakannya di meja. Lantas menyeruput kopi yang masih mengepul uapnya.

Sebagai orang tua, Pak Helmi merasakan bahwa Altar sedang dilanda masalah hati. Pria berkharisma tinggi itu, merasa berhak mengetahui urusan putranya, sekedar memberi solusi supaya putra sulungnya itu bisa sedikit terbebas dari belenggu rasa yang menggerogoti hati.

"Altar, bunda sama ayah tahu kalau kamu ingin bicara sesuatu, katakan saja!" Bu Hera meyakinkan Altar yang terlihat ragu untuk bicara.

Altar menarik napas sejenak, menghirup udara sebanyak mungkin demi menambah pasokan oksigen di rongga dada. "Begini, Yah, Bun, Altar ingin meminta restu."

Bu Hera dan Pak Helmi berpandangan, saling melempar senyum. Sebelumnya mereka menduga-duga apa yang hendak dibicarakan putranya. Namun, mereka memilih menunggu Altar menjelaskan secara langsung keinginannya.

"Restu untuk apa?" Pak Helmi pura-pura tidak mengerti.

"Restu untuk melamar Allea." Pemuda itu beringsut, menggeser duduk lebih ke depan, mendongkak menatap orang-orang tercinta. Rasa percaya dirinya mulai timbul melihat ekspresi kedua orang tuanya begitu santai, menanggapi keinginan hati yang tak terbendung lagi.

kembali Bu Hera dan Pak Helmi saling berpandangan. "Apa kau sudah yakin dengan pilihanmu?"

Altar mengangguk yakin, "Insya Allah Altar yakin. Altar sudah mengenal Allea sedari kecil, meskipun kami sempat berpisah lama tapi perasaan kami tidak berubah," papar Altar tanpa ragu.

Cinta Sang Abdi NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang