MK - Enam

17.8K 1.5K 510
                                    

Setiap kesalahan perlu dimaafkan, bukan?


Hari Rabu, seperti pekan biasanya Una pergi ke taman posyandu. Selain untuk imunisasi ia juga bersekolah. Tepat pukul delapan, ia pergi ditemani mamanya dengan mengendarai motor untuk menempuh jarak 500 meter. Una akan bersemangat jika itu saatnya belajar dan bermain. Tapi akan menangis ketakutan pada saat imunisasi karena tak jauh dari jarum suntik yang menurutnya begitu mengerikan. Terakhir kali ia disuntik itu menangis kencang pun lama. Padahal sebelum disuntik, ia berkata pada teman sebayanya untuk tidak menangis. Tapi nyatanya, dirinya lah yang menangis. Dan saat itu ia mendapatkan nomor urut satu. Jelas yang kali pertama ia disuntik.

Begitu tiba di TAPOS, Una langsung bersemangat turun dari motor matic yang dikendarai ibunya. Lalu menyapa teman dan Bu Guru yang sudah hadir disana.

"Assalamualaikum," ucap Ros ramah, ia menggandeng tangan mungil Una agar mengikuti langkahnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka berbarengan. Una langsung melepas tas ransel nya dan duduk meleseh di depan bangku yang masih kosong setelah sebelumnya ia menyalami Guru dan orang tua teman sebayanya.

Beberapa menit kemudian, kegiatan pun dimulai hari ini waktunya menggambar garis miring. Guru Una sudah memberikan contoh di buku kotak besar miliknya. Semua temannya pun sama, mereka pun bergegas mengerjakannya hingga beberapa baris saja. Sementara Una berbisik-bisik dulu dengan mamanya, karena ia tak menyetujui perintah Gurunya.

"Gak mau gambal itu, kok," katanya dengan cemberut.

"Lah, maunya gambar apa?" tanya Ros jadi ikut berbisik.

"Galis tegak gak mau galis miling." ia kesal pun membuang pensil nya ke sembarang arah.

"Ini kan sama aja, Adek." bujuk Ros setelah mengambil pensil yang dibuang Una. Una mengambil paksa pensil nya lalu mengoret-oret bukunya. Lalu mendorong bukunya kasar, setelah itu berbalik badan dan bersedekap dada. Hingga Guru Una menghampirinya.

"Kenapa ini?" ujar Bunda Hanik menatap Una dan bukunya bergantian.

"Nggak mau gambar garis miring, maunya garis tegak, Bunda." yang menjawab Ros karena Una kalau marah tidak mau diajak bicara.

Bunda Hanik pun tersenyum mendengar penjelasan dari Ros, lalu mengambil buku dan meletakkannya di depan Una. Bunda Hanik pun menggambarkan garis tegak buka lagi lurus. "Ini cantik, Bunda gambar garis tegak. Ayo dicontoh nanti kalau udah selesai dikumpulkan."

Una menurutinya kali ini, tidak berpindah tempat ia pun mulai a menggambar, tapi ternyata ada gambar garis miringnya. Una kembali memberengut kesal. "Gak mau gambal ini kok." ia mengadu pada mamanya lagi.

Ros jelas gemas, minta diantarkan sekolah tapi begitu dituruti malah semaunya sendiri--ikut mengatur. Sebenarnya yang jadi Gurunya ini siapa. Kalau tidak dituruti kemauannya ia akan kesal, tapi jika ia tak menuruti kemauan bundanya itu--Guru Una tidak kesal malah bersabar menghadapinya.

"Adek jadi sekolah nggak? Kok rewel terus." eh, malah nangis. Padahal mamanya sudah meredam emosi, berkata dengan lembut. Tapi yang dasarnya tukang cengeng mau bagaimana lagi.

"Pulang aja, ya." ajak Ros kemudian, tapi Una menolaknya. Jelas, karena dirumah sepi tidak ada temannya. Sementara di sini, ia bebas.

"Diem."

Dan pada akhirnya pun Una diam, tapi tak mau menggambar hingga pulang pun Una hanya menjadi penonton teman-temannya yang asik bermain. Sementara dia terus menempel pada mamanya.

Saat perjalanan pulang ke rumah, Ros mengendarai dengan hati-hati karena ia jarang memakai motor, bahkan bisa dihitung jari. Selain itu suaminya melarang. Tiba-tiba di depan ada mobil box yang membuka pintu tanpa menengok ke belakang membuat Ros yang sudah berada di dekat mobil tersebut langsung bingung, dan akhirnya pilihan Ros membanting stir ke kanan setelah itu tak bisa mengendalikan hingga membuatnya terjatuh dengan Una yang dipeluknya.

Beberapa warga langsung berbondong-bondong untuk menolongnya juga Una. Yang kemudian mengantarkannya pulang ke rumah. Sementara sopir yang membawa mobil box tersebut sibuk untuk meminta maaf dan siap mengganti rugi, tapi Ros menolaknya.

***

Romi langsung pulang ke rumah setelah mendapat kabar dari Bi Ipah bahwa anak dan istrinya kecelakaan. Ia membawa mobilnya dengan kalap—melewati jalan tikus agar bisa lebih cepat sampai tapi nyatanya sama saja. Dan begitu tiba di rumah ia segera melihat keadaan istri dan anaknya. Wajahnya sangat murka, sebab istrinya melanggar perintahnya untuk tidak mengendarai motor.

Tanpa salam, Romi langsung memasuki kamarnya. Ia melihat istri dan anaknya terlelap, namun Ros langsung terbangun kala mendengar suara derap langkah kaki. Ros berusaha terbangun dari rebahan dan menatap suaminya dengan samar. Karena ia masih merasa pening.

"Mas udah pulang?"

"Siapa yang menyuruh kamu naik motor?" tanya Romi dengan amarah. Ros tidak bisa menjawabnya karena ia memang mengaku salah.

"Jawab Ros!" tentu Ros terperanjat saat dibentak karena Romi yang selama ini tidak pernah bersikap seperti itu kecuali saat awal mereka menikah. Sebab keduanya ini adalah salah satu anak manusia yang menjadi korban perjodohan orang tuanya.

Romi mengusap wajahnya secara kasar, kemudian ia beristighfar. Tetap saja ini salahnya karena tidak bisa menjaga istri dan anaknya dengan baik. Karena merasa jengah dan ingin terus memarahi Ros, Romi pun memilih keluar dari kamar ia butuh penyegaran. Sementara Ros ia langsung menangis karena suaminya itu menutup pintu kamar dengan cara membantingnya.

Padahal dirinya terluka, bagian siku kiri yang kini terdapat kasa putih serta plaster. Lalu di lain bagian ada lebam dan dibagian kakinya melepuh karena terkena mesin yang panas. Sementara Una, anaknya baik-baik saja tak ada yang luka atau pun lecet. Romi tak melihatnya kah?

***

Begitu di dapur Romi langsung meneguk dua gelas air, disana ada bi Ipah yang sedang memasak untuk makan siang. Sebenarnya ia hanya memasak dua kali, pagi dan sore tapi berhubung majikannya kecelakaan maka ia memasak; bubur merah.

"Bapak sudah liat keadaan Ibu?" tanya bi Ipah yang melihat Romi malah ada di dapur.

"Udah, Bi."

Tiba-tiba bi Ipah menceritakan kronologinya, dengan gemas ia pada tukang sopir mobil box karena tidak berhati-hati. Jika dikaji ulang dari pihak manapun harus berhati-hati, kejadian seperti ini mana mungkin salah satu pihak saja yang bersalah. Tapi belum selesai bi Ipah bercerita, Romi kembali ke kamarnya untuk mengecek keadaan Ros sesuai dengan cerita bi Ipah yang katanya Una tidak terluka tapi Ros.

"Loalah, Pak. Ceritanya belum selesai."

Romi melihat Ros yang masih menangis, membuatnya merasa bersalah harusnya perhatian yang ia beri, bukan bentakan. Romi pun langsung mendekat, duduk di pinggir ranjang lantas memeluk istrinya. "Maafin, ya. Karena udah marah."

Ros semakin kencang menangisnya. Ia membalas pelukan Romi dengan sangat erat. Menenggelamkan wajahnya di tubuh Romi. Nyaman.

"Yang sakit mana?" tanya Romi saat melepaskan pelukannya, menatap Ros—meneliti tubuhnya.

Ros menggeleng, ia tak mengaku. "Nggak ada."

Namun begitu Romi melihat ada lebam dibagian tangan kirinya, ia menyentuh dan menekannya. Tentu Ros meringis kesakitan. "Nggak sakit?"

Lalu Romi menemukan luka lagi, di siku kirinya ia sedikit membalikkannya, "Ini juga nggak sakit?" akhirnya Ros pun mengaku, ini menganggukkan kepalanya.

"Tapi lebih sakit kalau Mas bentak aku," kata Ros jujur.

"Aku khawatir sama kalian, jadi merasa bersalah karena nggak bisa jadi suami dan Ayah yang baik."

Ros menarik tangan Romi dan menggenggamnya. "Maafin, istrimu ini."

Romi mengangguk. "Asal jangan diulangi lagi."

Ros pun langsung mencium punggung tangan suaminya lantas mengucapkan, "Makasih."


Cerita ini sudah diterbitkan, silahkan membeli ada versi buku dan e-book.

https://play.google.com/store/search?q=monster%20kesayang&c=books

Terima kasih

Monster Kesayangan | RepostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang