Bab 3. Benang Merah

4.3K 223 2
                                    

Tak ada yang lebih menyebalkan dari orang yang tidak tepat waktu. Setidaknya itu yang ada dalam pikiran Xander ketika ia memulai harinya. Ia lebih suka datang satu jam lebih awal dari waktu seharusnya. Tentu saja untuk menghindari berbagai masalah teknis yang bisa saja menghambat perjalanannya.

Bisa saja di jam berangkat kerja yang sibuk, jalanan akan menjadi sangat ramai dan macet, meskipun sebenarnya kemacetan bukan hal yang Lumrah di kota kecil ini, namun tidak ada salahnya mempersiapkan diri untuk kemungkinan tersebut.

Alasan lain Xander datang lebih pagi adalah untuk menghindari kegaduhan yang dibuat oleh para mahasiswi.

Gadis-gadis itu terkadang seperti orang gila. Mereka melihat Xander seperti setumpuk daging asap yang menggiurkan. Meskipun Xander tahu gadis-gadis itu tak akan berani mendekatinya, namun tetap saja, telinganya yang tajam itu dapat dengan jelas mendengar hal-hal aneh yang mereka bicarakan. Wanita di abad ini memang yang paling membingungkan.

Seperti biasa, untuk mengisi waktu sebelum memulai pekerjaannya, Xander menunggu di perpustakaan sambil membaca beberapa buku. Ia memiliki sebuah ruangan khusus di dalam perpustakaan tersebut sehingga ia dapat dengan tenang membaca.

Sebagai informasi, Universitas ini memiliki koleksi buku yang cukup lengkap, belum selengkap perpustakaan di pusat kota, tetapi sudah cukup lengkap bagi siapa saja yang membutuhkan buku. Konstruksi perpustakaan ini dirancang untuk menampung jutaan buku dari berbagai bidang yang edisinya selalu diperbaharui. Kau dapat dengan mudah menemukan koleksi buku tua yang bahkan sulit ditemukan di tempat lain.

Setengah jam berlalu, Xander masih betah membaca buku tebal yang diambilnya tadi, hingga sesuatu mengganggunya. 

'kau menciumnya?' Tanya Sergio. Serigala pendiam itu jarang sekali bicara. Tapi sekarang ia sangat antusias. Ia bahkan melolong beberapa kali di dalam pikiran Xander. 

"Diamlah Sergio, kau menggangguku!"

Xander mendengus kesal. Ia sedang ingin memfokuskan dirinya untuk menghirup aroma menenangkan itu. Dan serigala itu mengacaukannya.

'Mate, dia mate kita bodoh. Cepat cari Xander. Akan kuambil alih jika kau tak segera mencarinya."

"Aku tahu. Bisakah kau tenang? Kau mengganggu konsentrasiku." Lagi Xander mendengus kesal ia lantas membuang asal buku yang tadi ia baca. Ia kemudian melangkah keluar mengikuti harum yang menenangkan itu.

Suasana di sana cukup sepi. Xander hanya melihat beberapa mahasiswa sedang membaca dengan earphone di telinga. Beberapa lainnya sedang mencari buku diantara rak-rak buku antropologi.

Harum ini benar-benar menguar ke seluruh penjuru ruangan, lembut dan menenangkan.

Tepat di seberang ruangan itu, seorang gadis berambut coklat tengah duduk bersama seorang gadis lain. Keduanya tampak sibuk bercakap-cakap.

Xander bisa dengan jelas melihat benang merah tipis yang mengikat kelingking kanannya dan berakhir pada kelingking gadis itu. Benang tersebut terayun-ayun mengikuti gerak tangan gadis itu yang sedang membuka lembaran kertas pada buku yang ia baca. 

Xander tentu saja bukan orang yang pro terhadap standar kecantikan berdasarkan penampilan luar saja. Tetapi memang tak bisa dipungkiri, gadis itu sangat menawan, wajah, rambut, dari ujung kepala sampai ujung kaki terpahat dengan sempurna.   Bahkan hanya dengan tersenyum, gadis itu mampu membuat Xander melakukan segalanya untuk mempertahankan senyum itu tetap di sana. Xander seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Tanpa sadar sebuah senyum kecil terukir di sudut bibir Xander.

"Ini buku tentang sejarah berdirinya sekolah ini. Aku hanya sedikit tertarik membacanya."

La LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang