Bab 4. Indah Bukan?

3.7K 232 4
                                    

"Aku membawanya langsung kepadamu dan kau mengacaukannya."

Xander mendengus dan meraup wajahnya gusar.

"Siapa yang menyangka ia akan bereaksi seperti itu. Bukankah itu yang disukai para wanita?"

Meridi tergelak.

"Kau sangat payah mengenai percintaan."

Xander menggeram kesal. Wanita itu selalu membuat emosinya terpancing.

"Aku mengerti, setidaknya kau sudah menemuinya secara langsung. Mulau saat ini mudah untukmu membaui gadis itu. Ingatlah, gadis itu cukup rapuh. Jangan terburu-buru."

*

Katy baru saja selesai mandi. Mandi adalah hal yang paling bisa menenangkan pikirannya saat ini.

Bulir-bulir air mengalir dari ujung rambutnya dan membasahi piyama berwarna biru yang dikenakan Katy.

Ia lantas beranjak menuju dapur, memanaskan roti keju yang dibelinya dari toko kelontong. Kemudian ia memanaskan air dan menyeduh teh berwana merah kesukaannya itu.

Sesudahnya Katy membuka pintu balkon kamarnya. Dalam sekejap udara segar menerpa wajahnya. Katy menarik nafas dalam-dalam, berusaha menghirup sebanyak-banyaknya udara agar otaknya bisa lebih dingin.

Terang saja, Katy masih belum bisa menenangkan dirinya. Kejadian tadi bukanlah kejadian pria mesum pada umumnya.

Meskipun ia bukan tipe melankolis yang suka meratapi sesuatu, tetapi tetap saja, peristiwa tadi terus mengusik pikirannya.

Roti keju yang seharusnya jadi favoritnya pun nampak tak lagi menggoda. Namun karena perut malangnya itu sudah kepalang lapar, Katy akhirnya melahap roti itu. Mengunyahnya dengan perlahan seperti yang biasa dilakukannya. Itu menjadi semacam ritual makan yang wajib dilakukannya. Terdengar sepele bagi sebagian orang, namun baginya makan dengan perlahan dan menikmati setiap kunyahan adalah bentuk penghormatan terhadap makanan dan juga penciptanya.

Sembari melahap roti itu, Katy menatap keluar jendela. Langit tampak jingga dengan awan yang memerah. Di kejauhan terlihat deretan pohon mapel yang masih hijau. Tampak indah menyatu dengan bukit-bukit dibelakangnya. Dengan melihat semua itu, pikirannya menjadi sedikit lebih tenang.

"Indah bukan?"

Katy menoleh, melihat sesosok pria tengah menyeruput teh pada cangkir miliknya.

"Kau memiliki selera yang bagus, tapi ini sedikit terlalu manis untukku. Kau harus mengurangi asupan gulamu atau kau akan terkena diabetes. Hidupmu akan terpotong 10 tahun jika kau tidak menjaga pola makanmu."

Katy terpaku menatap pria itu dengan mulut yang masih penuh.

"Habiskan dulu makanan dalam mulutmu baru kau boleh bicara."

Menyadari hal itu, Katy lantas menelan roti itu. Wajahnya langsung berubah marah.

"Bagaimana kau masuk? Dan apa tujuanmu datang ke sini? Apakah Brigitte tidak melarangmu masuk?"

Lelaki itu tersenyum kecil.

"Masih sama seperti tadi, aku mau kau ikut denganku."

Katy membuang mukanya.

"Kau bermimpi."

"Baiklah kau mungkin menolak sekarang. Tapi percayalah, kau akan kubawa ke rumahku sesegera mungkin, entah kau setuju atau tidak."

"Kau tak memiliki kendali akan hidupku."

"Tentu saja aku punya, aku adalah suamimu."

Katy memutar bola matanya.

La LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang