#Cinta_Datang_Terlambat 10
Haris POV
Aku sangat terkejut ketika Bu Risa, ibunya Mirna, tiba2 berlutut di hadapanku dan memohon padaku untuk menikahi Mirna. Sementara di sampingku ada gadis yang kucintai dan sedang kuperjuangkan. Aku gamang berada di persimpangan.
Aku membantu Bu Risa untuk bangun. Kusampaikan padanya agar memberikan waktu untukku berpikir dan berdiskusi dengan Mirna nanti jika ia sudah sadar. Aku pamit dari Bu Risa sambil mengajak Diana ke kantin. Dia pasti bingung dan butuh penjelasan.
"Di, meski mas ga pernah terang-terangan bilang. Diana tau kan kalo mas sayang sama Diana".
"Iya mas", jawab Diana.
"Kita memang belum terlalu lama kenal, tapi cuma kamu yang berhasil membuat hati mas mau kembali percaya pada komitmen. Bahkan sejak pertemuan pertama, meski mas coba untuk menyangkal, tapi sebenarnya senyum kamu sudah membuat mas jatuh hati".
Diana terdiam mendengar pengakuanku. Kulihat matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Tapi kita sedang diuji, Di. Mirna hamil oleh mantan pacarnya. Mantan pacarnya sekarang malah kabur entah kemana, tadi mas dengar dari Anita. Dia juga belum berani bilang ke ayahnya karena ayahnya sakit jantung".
"Trus jadi mas mau gimana?", tanya Diana.
"Kamu sabar yaa, mas akan coba cari jalan keluar terbaik untuk kita semua".
Aku lega setidaknya sudah mengungkapkan perasaan yang terpendam. Aku ingin Diana tau apa yang selama ini kurasakan untuknya. Ingin rasanya kutepis segala kekhawatirannya, tapi aku sendiri masih belum menemukan solusi untuk masalah Mirna.
-------------------------------
Diana POV
Debar jantungku tak terkendali kala kudengar ungkapan perasaannya padaku dengan sorot matanya yang teduh. Mata yang menyihirku, menawan hatiku sejak pagi di stasiun Tugu kala itu. Di satu sisi aku sangat bahagia pada akhirnya dia jujur mengungkapkan perasaannya padaku. Namun di sisi lain aku juga risau, ada rintangan besar menanti di hadapan kami.
Saat kembali ke IGD, Mirna sudah dipindah ke ruang rawat. Sampai di ruang rawatnya ternyata semua sedang panik karena Mirna siuman dan kembali histeris. Alat infus dan perban yang ada di tangannya mau dilepas. Dia menjerit-jerit pilu berteriak ingin mati saja.
Aku tak sanggup melihatnya. Sebagai sesama wanita aku bisa mengerti perasaannya. Terlepas dari segala kekhilafannya, dia kini rapuh dan hilang pegangan. Dia bisa saja menggugurkan kandungannya, tapi aku tau, sudah ada rasa cinta untuk buah hatinya yang membuatnya memilih lebih baik mati bersama daripada harus membunuh anaknya saja.
Dan aku tidak bisa menutup mata mementingkan kebahagiaanku sendiri. Sementara disini seorang perempuan memilih ingin mengakhiri hidupnya dan anaknya.
Saat ini jam tiga dinihari, aku ingin ke hotel dan membawa barang-barangku. Weekday seperti ini mungkin tidak sulit mendapatkan tiket go show untuk pulang ke Jakarta. Aku memilih pulang naik kereta lagi agar bisa tidur di perjalanan pulang. Kepalaku sakit karena kelelahan, kurang tidur dan kaget karena berita ini. Biarlah aku yang berkorban, demi seorang calon ibu dan janin dalam kandungannya.
--------------------------------
Haris POV
Mirna diberikan suntikan obat penenang oleh dokter. Aku sebetulnya khawatir akan berdampak pada janinnya. Tapi dokter bilang dosisnya sudah sesuai. Demi keselamatan nyawa Mirna dan janinnya juga.
Baru kusadari Diana sudah tidak ada di rumah sakit. Entah sejak jam berapa. Aku segera menyusul ke hotelnya. Namun yang kutemui hanya secarik kertas berisi tulisan Diana yang dititipkan ke resepsionis.
"Mas, Diana pamit pulang ke Jakarta. Tidak usah bingung memilih antara Diana atau Mirna. Mirna dan anaknya lebih membutuhkan mas".
Aku panik membaca tulisannya. Handphone nya pun tidak bisa kuhubungi. Aku segera menuju stasiun Solo Balapan. Setauku Diana lebih suka naik kereta. Kucoba peruntunganku.
Pintu pemeriksaan karcis dijaga ketat, segera kubeli tiket tujuan mana saja agar aku diizinkan masuk mengejar gadisku. Kulihat papan pengumuman keberangkatan, masih satu jam lagi. Dia pasti belum masuk ke kereta.
Setelah masuk ke dalam, benar saja kulihat dia duduk bersandar di kursi tunggu sembari memejamkan mata. Kuhampiri dia dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengusap kepalanya. Aku sudah menoreh luka di hati gadis yang setengah mati kusayangi. Setelah menahannya dalam hubungan yang tidak kuperjelas, kini ia harus dihadapkan dengan kondisi seperti ini.
Dia mengerjapkan matanya, kaget begitu melihatku ada di hadapannya.
"Mas kok nyusul kesini?".
"Iya abis kamu pergi gitu aja cuma ninggalin pesan".
"Hihi, aku berasa kayak film AADC, dikejar sampe ke ruang tunggu gini. Bedanya kalo Rangga sama Cinta di Bandara, kalo kita di Stasiun", candanya dengan suara tawanya yang renyah didengar.
"Kamu kok sempet-sempetnya bercanda sih situasi lagi begini", aku ingin mengomel tapi tidak bisa menahan senyum karena lucu mendengar candaannya barusan.
Diana menatapku dalam. Dia diam sesaat sampai kemudian dia bilang, "Mas, apa yang pernah kita lewati itu indah buatku. Kalaupun harus berakhir sekarang, biarkan menjadi kenangan manis yang tidak akan kita lupakan. Aku bahagia pernah menjadi bagian dalam hidup mas".
Dia tersenyum, namun bulir-bulir bening tetap mengalir dari kedua matanya yang indah.
Dia kembali bicara,
"Mas ga usah pusing mikirin aku, takut nyakitin aku. Ini sama-sama berat buat kita. Terpaksa berkorban untuk orang lain. Tapi cinta ga selalu harus bersama, mas. Mungkin takdir kita memang hanya untuk sekedar bersinggungan, bukan bersisian. Mas pernah mencintai Mirna, mungkin mas bisa mencobanya sekali lagi. Selamat tinggal mas. Aku juga pasti akan bertemu penawar lukaku nanti".Bertepatan dengan ucapan perpisahannya, keretanya datang. Dan dia benar-benar melangkah pergi meninggalkanku. Lidahku kelu, aku juga tak mampu membendung air mataku. Mungkin terlihat payah seorang laki-laki menangis. Tapi aku tidak dapat menahan pedihnya hati melepas cintaku pergi. Aku tau tidak boleh menyalahkan takdir. Tapi apa yang bisa aku lakukan dalam kondisi seperti ini.
Bersambung