10 : tentang tersakiti

117 14 0
                                    

Devaro Prahadi.

3 hari gue hanya bolak balik club, bahkan Kak Dinara yang selalu berusaha melarang kepergian gue namun tidak pernah berhasil.

Gue tetap kekeuh ingin pergi ke club dan pulang larut malam, selalu seperti itu, bahkan gue muak dengan semua yang gue lakukan setiap harinya.

Gue kecewa karena gue membuat Kak Dinara khawatir dengan semua yang terjadi dengan gue, gue kecewa karena gue tidak mampu mengendalikan emosi gue.

"Kamu mau kemana sih, Dev?" Tanya Kak Dinara menahan tangan gue yang baru saja berniat untuk melangkah keluar rumah.

Gue berbalik ke arah Kak Dinara yang tengah menatap gue dengan tatapan geram, "Kak, biarin aku pergi. Aku cuman butuh ketenangan saat ini."

Kak Dinara menghembuskan nafasnya lalu memijat pelipisnya pelan, gue paham bahwa Kak Dinara sudah lelah menghadapi gue yang keras kepala.

Bodohnya, gue tetap mengikuti ego gue tanpa memikirkan orang yang gue sayang sekarang, yang tengah mengkhawatirkan kondisi gue dan tidak mau gue kenapa napa.

"Dev, jangan ke club. Kamu gak boleh nyakitin diri kamu dengan cara pergi kesana terus."

Gue hanya bisa menatapnya lekat, dan gue dapat melihat mata Kak Dinara mulai berkaca kaca, dan detik ini pun gue mengutuk diri gue karena sudah membuat kakak kesayangan gue menangis.

"Kakak nggak pernah paham, aku dapet ketenangan disana. Sebuah ketenangan yang gak pernah bisa aku dapetin di tempat mana pun."

Kak Dinara berkacak pinggang, lalu ia menyeka air matanya yang nyaris terjatuh. "Terserah kalau itu mau kamu."

Ucapan itu lolos dari bibir mungil Kak Dinara, terdengar sangat pasrah. Seakan akan Kak Dinara benar benar sudah sangat lelah menghadapi sikap gue.

"Maaf, Kak. Kalau lo gak ngerti kenapa gue kayak gini, gue lebih gak ngerti kenapa gue jadi seperti sekarang."

Gue menatap wajah Kak Dinara dengan sangat iba, tapi bodohnya kaki gue lebih memilih untuk melangkah keluar rumah.

Masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil gue ke Savari Club, itulah club yang selama ini selalu gue kunjungi bersama dengan Daniel. Tapi bedanya kali ini gue pergi sendiri, tanpa di temani oleh Daniel.

Karena sekarang gue tidak butuh siapa siapa, gue hanya butuh sepi, gue ingin menyendiri, gue butuh situasi dimana gue bisa menteralkan pikiran gue.

Gue meraih hape gue yang gue letakkan di atas dashboard mobil lalu mencari kontak line Kak Dinara.

Sebelum gue mengetikkan pesan singkat untuk Kak Dinara, gue menghela nafas pelan sebagai bentuk penyesalan gue tadi.

To : Kak Din
Kak, i'm sorry for being selfish. Karena aku mau kakak juga paham kalau aku butuh ketenangan saat ini. Sorry, i makes u cry

Gue nggak tau bagaimana respon Kak Dinara setelah membaca pesan singkat dari gue, "bego banget karena gue gak bisa ngendaliin ego gue sendiri." Ucap gue menyesal.

Mungkin sekarang Kak Dinara tengah menangis di dalam kamarnya, memikirkan kenapa gue bisa seegois itu saat berhadapan dengannya tadi.

Tiba tiba hape gue berdering, dengan cepat gue segera menekan tombol terima saat melihat nama Daniel terpapar jelas di layar hape gue.

"Woi anjing!" Gue menjauhkan hape gue dari telinga sedikit, lalu mengernyitkan dahi bingung. Tidak ada kata Hallo, melainkan sebuah kata yang menurut Devaro sangat kasar.

Namun sudah menjadi hal yang biasa untuk Devaro saat ia berhadapan dengan Daniel, mungkin Daniel akan memanggilnya dengan sebutan 'bangsat, anjing, monyet, babi, dan segala macam.'

Destiny or CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang