04 : tentang benci

162 19 4
                                    

Untuk Alana — dari dia.

"Kamu adalah analogi paling tepat
Untuk segala kata hampir
Hampir bahagia
Hampir bersama
Hampir dimiliki
Hampir berhasil."

Devaro Prahadi.

Alana? Gue gak salah denger? Gue rasa Daniel dan juga Gio tengah berhalusinasi sampai mereka beranggapan bahwa Alana hidup kembali, terlahir kembali, punya kembaran, dan segala macam.

Gue bahkan sampai mengerutkan dahi saat mendengar cerita mereka, gak mungkin Alana hidup lagi.

Karena jelas jelas gue melihat Alana di kubur, gue melihat Alana di dalam peti, bahkan gue selalu berkunjung ke rumah Alana setiap pekan untuk menemani orang tuanya.

Tidak percaya? Sangat.
Gue tidak bisa percaya begitu saja jika gue tidak melihat dia langsung dengan mata kepala gue.

"Goblokkkk... goblok...."

Gue merutuki Daniel dan juga Gio karena ucapan mereka yang mengada ngada, gue gak bisa percaya gitu aja kalau ada seorang perempuan yang wajahnya mirip dengan Alana.

"Ayok, gue anter lo ke kelas dia." Ajak Daniel yang mungkin sudah geram karena gue tidak mempercayai ucapan mereka.

"Gak, gue gak mau." Gue gak mau, karena kalau memang itu benar, bukan hal yang mudah untuk mencerna semuanya.

"Kenapa gak mau?" Gue menggelengkan kepala menolak, tapi rasanya gue ingin sekali melihat seperti apa kemiripan perempuan itu dengan Alana.

"Kalau emang di takdirin buat ketemu, nanti juga ketemu." Jawab gue sambil melipat kedua tangan di depan dada.

"Lo ngatain kita goblok karena ngira kita ngarang cerita, giliran kita mau kasih tau kebenarannya lo malah nolak. Siapa yang tolol?" Tanya Daniel dengan tatapan geram.

Sementara gue hanya tertawa pelan sambil menggarukkan kepala pelan.

Gue gak pernah percaya kalau Alana masih hidup, kayak apa yang di bilang sama Daniel dan Gio barusan.

Tapi entah kenapa pikiran gue kembali berputar, gue teringat beberapa quote yang membuat gue semakin penasaran dengan ini semua.

"Dan bagaimana sebuah rasa kehilangan, Tuhan akan selalu menyediakan cara untuk mengembalikannya lagi."

Gue gak tau harus melakukan apa, mencari kebenarannya atau diam disini? Seakan akan hati dan otak gue beradu argumen.

Disaat hati gue meminta gue untuk mencari tau kebenarannya, otak gue malah meminta gue untuk diam dan tidak melakukan apa apa.

Gue takut, gue takut pertemuan gue dengan perempuan itu hanya akan mengingatkan gue dengan kenangan masa lalu yang sudah berhasil gue lupakan.

Gue takut mengingat semua itu, dan gue takut itu akan menjadi beban pikiran gue. Karena gue hanya ingin tenang dan tidak memikirkan tentang suatu hal.

"Lo yakin dia mirip banget sama Alana?" Tanya gue dengan tatapan penuh dengan rasa penasaran kepada Daniel dan juga Gio.

Daniel menatap ke arah gue dengan hembusan asap rokoknya yang sudah berterbangan di udara.

"Kita ngeliat dengan kepala mata kita, Var. Gak mungkin kita berdua salah liat, makanya gue mau ngajak lo ketemu sama dia." Jawab Daniel menggelengkan kepala heran.

Gue awalnya menghembuskan nafas berat sebelum menganggukkan kepala untuk menyetujui saran dari Daniel dan juga Gio.

Karena gue memang harus memastikan semuanya, apa benar dia Alana atau hanya sekedar mirip?

Destiny or CoincidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang