[ Chapter 4 : Hurt ]

246 33 3
                                    

    Pagi itu,entah dari mana asalnya,pikiran gila itu muncul kedalam pikiran Farrel. Ia bosan dirumah,lantas ingin pergi keluar.

Ia menoleh,melihat Dimas,kakaknya yang sedang mendengarkan lagu kesukaannya,lagu- lagu BTS.

"Kak?"

Dimas menatap Farrel dengan tatapan   "apa?"

"Aku ingin keluar" Dimas mencelos. Jantungnya serasa ingin pindah ke perut.

"Tidak boleh, Farrel. Kau harus tetap disini. Kau tidak boleh keluar. " Tegasnya.
"Tapi aku bosan dirumah,ayolah sekali saja" rengeknya mengguncang guncang tubuh Dimas.

Dimas tetap menggeleng.

"Ayok! Atau aku ngambek sama kak Dimas!" Farrel berakting seperti mengambek sambil melipat tangannya di atas dada.

"Kau mau apa sih?" Dimas sudah diambang kesabarannya.
"Main. Keluar. Bosan. " Farrel menunjuk nunjuk taman sambil mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil.

"Yasudah. Oke. Sebentar saja" Dimas mengalah lalu Farrel berjingkrak jingkrak kesenangan. Dimas sangat was was terhadap keselamatan adiknya,ia takut Farrel kenapa kenapa,karena jika Farrel tergores sedikit saja,nyawanya yang akan menjadi taruhannya.

.
.
.

Farrel baru saja ingin menaiki sepeda yang di sewakan di taman tersebut,tapi Dimas melarangnya. Farrel mengarahkan netranya ke sembarang arah,kesal.

Ini gaboleh,itu gaboleh,sungutnya.

Sementara Dimas memandang Farrel dengan tatapan khawatir. Khawatir jika ada bekas luka sedikit apapun,satu cambukan atau lebih bisa mendarat di punggungnya. Dimas meringis ketika membayangkan nya.

Sepenting itukah Farrel untuk ayahnya? Emm bukan,seberharga itu. Tidak seperti dirinya.

Dimas menghela nafasnya, lelah.

Ia memandangi Farrel yang sedang berlari kesana kemari setelah itu bermain ayunan,terkesan seperti anak kecil,memang. Tapi Farrel memang tidak pernah keluar selama 15 tahun ia hidup. Ia terkurung.

"AKH"

Dimas menoleh cepat, mendapati Farrel yang terduduk di aspal dengan posisi memegangi lututnya. Sedangkan pengendara motor tersebut melarikan dirinya.

"Anjing" umpatnya.

"Farrel gapapa?" Dimas tahu itu pertanyaan bodoh.

Farrel hanya meringis.

Dimas takut,khawatir,jantungnya berdegup kencang,dan inilah hal yang ia takut kan. Farrel yang terluka.

"Kok bisa?"

"Aku lagi lari,ditabrak motor itu" katanya.

Dimas mengacak rambutnya frustasi,ia padahal sudah mengawasi Farrel dari dekat,ia meleng sedikit Farrel ternyata sudah terluka. Dunia ini memang tidak adil.

"Apa yang bakal ayah lakuin sama gue?" Batinnya.

"Ayo kita pulang" Dimas menuntun Farrel untuk berjalan menuju rumah.

"Semoga ayah nggak ada dirumah"

Harapan Dimas pupus begitu saja ketika melihat ayahnya dengan raut wajah marah menghadang di depan pintu rumah.

Dimas mencengkeram saku celananya. Ia keringat dingin. Sementara Farrel langsung berlari kepelukan ayahnya.

"Cuma luka dikit yah" katanya seakan tahu apa yang akan ayahnya katakan.

"Masuk." Bahkan ayahnya tidak menatap Dimas sama sekali.

Dimas berjalan masuk,tapi tangan besar ayah nya menariknya untuk tidak bergerak. Dunia Dimas seakan berhenti saat itu juga.

.
.
.

Cambukan demi cambukan mengenai tubuh Dimas yang kini telah menghitam karena luka.

"Udah yah," ringisnya.

"Ayah bilang jaga dia! Kenapa kamu malah bikin dia luka? Kamu gatau kalo dia gaboleh keluar hah?! Kamu tuh anak manusia apa bukan?!" Hinaan itu terdengar begitu sakit di telinga Dimas. Lebih sakit dari cambukan yang selalu ia terima.
Kata kata itu terlalu menusuknya.

"Ma..maaf.."

"Kamu harus jaga dia!" Ayahnya kembali mengambil sabuk nya lalu mencambuk nya lagi sampai tubuhnya benar benar tak kuat lagi.

Dimas terjatuh dari berdirinya,ia tersungkur. Rasanya sakit sekali.

Setelahnya ayahnya menjambak rambut nya lalu memukulkannya ke tembok.

Dimas menahan tangisnya. Nafasnya ter engah engah. Ia sudah tidak tahan. Ketika itu,ia merasakan semuanya gelap.

    ~•~

"Kak?"

Dimas membuka matanya. Ia bersyukur. Ia kira ia sudah mati. Bahkan rasanya tubuhnya mati rasa karena sudah terlalu sakit. Ia meringis ketika ia mencoba mendudukkan badannya.

"Ada yang sakit?" Tanya Farrel. Dimas menggeleng,tentu saja bohong. Seluruh badannya sakit. Lebih dari lutut Farrel.

"Lututmu sudah sembuh?" Farrel mengangguk.
"Lumayan. Tidak sakit lagi"

Dimas menghembuskan nafas lega. Malah sekarang ia yang diambang kematian. Ah,lupakan.

"Ayo kita sarapan. Mmm itu apa?" Farrel menunjuk bagian tangan Dimas yang terkena cambuk. Sudah menghitam. Sangat seram.

"Bukan apa apa. Ayo kita sarapan"

Dimas menangkap netra ayahnya sedang memandangnya saat di meja makan.

Dimas memutar bola matanya ke arah lain. Tidak,dia tidak membenci ayahnya. Hanya bingung mengapa rasanya ia tidak ada harganya di hadapan ayahnya. Farrel,Farrel, dan Farrel yang ada di pikiran ayahnya. Seandainya mamanya masih ada,Dimas pasti akan mendapat kasih sayang seperti Farrel.

Ia tahu Farrel sakit, tapi ia juga butuh kasih sayang,tolong. Apakah sesulit itu? Dimas menunduk,menahan air mata nya yang sudah melesak ingin keluar.

Ia sudah tidak ada nafsu makan dan memutuskan untuk mengabaikan teriakan farrel yang menanyakan mengapa ia tidak ikut makan.

.
.
.

"Kak Rosa cantik ya?"

Dimas menoleh saat menyadari ada yang menyebut nama Rosa. Ia sedikit terkejut. Mengapa Farrel tiba tiba menanyakan anak itu?

"Mungkin. Aku tidak berfikir begitu."

"Dia itu lucu. Dia sangat baik. "

"Kau menyukainya?"

"Ah,tidak tahu. Tidak lah. Aku hanya memujinya. Bukankah itu bagus?" Sanggahnya.

"Ya,terserah mu" Dimas memutuskan untuk tidak meladeni Farrel.

Ia tidak tahu,tapi saat Farrel mengatakan itu,Dimas merasakan perasaan aneh----seperti cemburu?

Tbc.

baejiruby

B r o t h e r || JHS & JJKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang