Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi

Prolog

175K 9.8K 234
                                    

"I felt very still and empty, the way the eye of a tornado must feel, moving dully along in the middle of the surrounding hullabaloo."
Sylvia Plath, The Bell Jar. 


Pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pulang. Satu kata yang tidak lagi ia pahami artinya. Pulang, memiliki definisi berbeda bagi tiap orang. Bagi yang sedang jatuh cinta, yang baru saja dipersatukan dengan kekasihnya, pulang adalah tempatnya mengistirahatkan raga setelah seharian yang lelah, pulang adalah mengembalikan hatinya menjadi utuh. Bagi yang sedang kehilangan dan mencari-cari, pulang adalah saat ketika ia menemukan jawabannya, tujuan hidup dan alasan-alasannya.

Bagi Jagad Abinawa Hirawan, pulang hanyalah pulang. Rumah, baginya bukan lagi tujuan, hanya sekedar tempat singgah.

Dengan sisa energi yang ada, pria itu mendorong pintu agar terbuka, sementara jari-jemarinya sibuk melonggarkan ikatan dasi yang telah membelenggunya seharian. Tubuhnya lelah, remuk redam sedangkan kakinya hampir mati rasa saat ia menyeretnya melintasi ruang tamu yang teratur dan sepi. Tidak ada rencana lebih baik daripada berendam air hangat, atau mandi kilat di bawah shower agar ia bisa segera merebahkan diri di tempat tidur. Atau begitulah yang pria itu rancang di kepalanya, dengan mengesampingkan segala tetek-bengek urusan finansial, pertemuan-pertemuan besok, dan presentasi dengan investor potensial saat ia merasakan sesuatu di bawah sepatunya. Menyingkirkan kakinya dari apa yang barusan ia injak, Jagad menemukan sebuah hati. Sebuah kertas merah berbentuk hati yang kemudian ia pungut. Ia tahu itu milik siapa.

Di sana, melewati ruang tengah, terdapat sebuah pintu yang menghubungkan ruang makan dengan taman. Jagad berdiri di sana, dibalik pintu kaca dan tirai tipis yang telah disingkap rapi, memberikannya pemandangan berbagai bunga dan tanaman berjejer rapi, beraneka warna, masih basah habis disiram. Dan seseorang berdiri di sana. Punggung yang sempit di balik kaos putih pudar, rambut hitam yang digulung dalam jalinan longgar, membuat sejumput rambut jatuh ke leher menyentuh tengkuknya. Tangan kirinya yang tidak menggenggam alat penyiram bergerak-gerak bersama kepala dan pinggul, menyenandungkan lagu yang tidak Jagad mengerti.

Wanita itu tidak sadar Jagad di sana, menghabiskan bermenit-menit menatap kelakuannya, sebelum ia berputar untuk menyiram deret mawar dan matanya menangkap bayangan pria itu.

Senyuman segera merekah di bibir tipis itu bersama dengan langkah yang tergesa menuju Jagad. Beberapa helai rambutnya yang digelung asal-asalan juga jatuh ke wajah, menempel bersama dengan keringat yang baru Jagad sadari terbentuk di keningnya. Ia segera menyekanya dengan punggung tangan. Wanita itu meletakkan telapak tangan di depan dada menghadap ke atas dengan jari kelingking yang menekan dadanya.

Selamat datang, sapanya, masih dengan senyum yang sama. Senyum yang sering Jagad lihat. Terlalu sering hingga dia tidak sadar betapa berartinya senyum itu.

Mau kopi?

Jagad tertegun. Ia hampir melewatkan apa yang wanita di hadapannya coba tanyakan jika bukan karena lengkungan jemarinya yang membentuk huruf 'C' di udara. Dan Jagad tidak memerlukan keahlian membaca bahasa isyarat agar dapat memahami. Wanita itu selalu menanyakan hal yang sama setiap harinya. Namun, sebelum Jagad membuka mulut untuk menjawab, ia sudah mengayunkan langkah menuju dapur seolah pertanyaannya tidak memerlukan jawaban. Ia tahu. Jemari-jemarinya yang ramping dengan cekatan meraih mug kopi kesukaan Jagad. Satu setengah sendok kopi dan dua sendok gula, tidak terlalu penuh. Dengan air panas tiga perempat. Ia sangat tahu.

Ketika aroma familiar seduhan kopi menguar di udara, Jagad menyeret kakinya kembali menuju ruang tamu dan menghempaskan diri di sofa. Ia menyalakan TV dan channel olahraga yang menyiarkan pertandingan sepak bola yang hampir ia lupakan segera muncul tanpa perlu ia cari. Ia tidak ingin memilih siaran ini tadi pagi. Ia menoleh pada wanita di meja dapur yang masih sibuk mengaduk kopinya. Wanita itu suka menonton kartun siang-siang.

Haruskah ia mengucapkan terimakasih karena telah mengingatkannya tentang pertandingan bola sore ini?

Ayla, wanita itu, meletakkan kopi di hadapannya dan tersenyum. Dia selalu tersenyum. Wanita itu. Tidak peduli seberapa buruk hari yang Jagad lalui, tidak peduli seberapa melelahkan dan menyita akal sehat, senyum itu selalu sama cerahnya saat menyambutnya pulang. Tanpa pernah absen.

Senyum yang secara tidak sadar, he takes for granted.

Sebelum Ayla memutar tumitnya untuk kembali ke taman, Jagad meraih pergelangan kecil tangannya, membawanya untuk duduk di sisi pria itu. Sesaat, Jagad dapat bersumpah melihat kekagetan di wajahnya yang kecil. Kebimbangan yang hanya hilang setelah Jagad meletakkan di atas telapak tangannya sebuah origami hati berwarna merah.

"Ini punya kamu, kan?"

Ia mengangguk, menatap benda itu beberapa saat dengan ibu jari yang secara tidak sadar merasakan teksturnya. Ada gurat keraguan yang bisa terbaca ketika ia menggigit bibir bawahnya dan menatap Jagad.

Apa... kamu membukanya? Ia bertanya dengan gerakan tangan yang lambat, tahu dengan benar bahwa tiga tahun ini Jagad belum dapat membaca isyarat yang kompleks.

"Nggak," sedikit kebingungan, lalu Jagad tersenyum ringan. "Jelas nggak mungkin."

Dia menghargai privasi dan mencampuri urusan orang lain sama sekali bukanlah dirinya. Tentu saja ia tidak mungkin membuka-buka yang bukan miliknya, kan?

Sayangnya, dia melewatkan raut kecewa terlintas di wajah wanita yang ia nikahi sejak tiga tahun lalu dibalik senyum tipis yang ia tawarkan.

Betapa dia berharap Jagad membukanya.

Catatan: Dalam cerita ini, saya menggunakan bahasa isyarat menurut standar ASL. Seharusnya, di Indonesia memang menggunakan SIBI atau Bisindo. Namun,, menurut sumber yang saya percaya, SIBI di setiap daerah atau kelompok menggunakan bahasa yang berbeda-beda sehingga sulit untuk digunakan dalam buku ini. Sedang Bisindo adalah bahasa standar/baku yang jarang digunakan dan sayangnya juga tidak bisa saya gunakan karena sulitnya menemukan sumber untuk riset yang lebih mendalam. Mohon kemaklumannya.

Paper Hearts (Wattys2019 Winner) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang