9. Merindu

896 193 28
                                    

Den Haag, Nederland
2 November 1964

Jeffrey sudah siap dengan setelan rapihnya. Jubah coklatnya yang di dominasi dengan beberapa kancing berukuran besar, terpasang elegan pada tubuhnya. Tampak cocok karena proporsional.

Rambutnya ia tata rapih dengan menyibakkan poninya menggunakan minyak rambut beraroma lembut sehingga memamerkan jidatnya yang lebar bak lapangan golf.

Sekali lagi, Jeffrey merapikan jubahnya. Matanya menatap bias bayangannya pada cermin gantung, sejurus kemudian ia tersenyum tatkala menyadari bahwa kini adalah hari pertamanya kembali ke kota kelahiran setelah beberapa bulan tinggal di negeri orang.

"Sudah siap?"

Gottfried menatap anak sulungnya sembari tersenyum teduh. Jeffrey menganggukkan kepalanya mantab. Air mukanya menampakkan sekali bahwa ia sedang bersemangat.

Bapak dan anak itu berjalan lalu memasuki mobil dan melaju menuju tempat tujuan.

Aktivitas Minggu pagi hari kali ini adalah seperti biasanya. Beribadah di gereja. Yang membuat hari ini begitu spesial adalah Jeffrey beribadah di kota kelahirannya. Entahlah, terkadang pemuda ini begitu merindukan Den Haag. Walau ia lebih nyaman tinggal di Indonesia.

Ah, ngomong-ngomong soal Indonesia, Jeffrey jadi merindukan sosok itu. Gadis itu sekarang sedang apa, ya?

Semburat merah muncul pada pipinya. Senyum merekah pada kurvanya. Ritme jantungnya begitu cepat tak terkendali tatkala wajah ayu itu singgah dalam benaknya.

Padahal tak sampai duapuluh empat jam, rindu datang menyerang dirinya.

"Jeff,"

Suara berat sang Ayah memecahkan lamunannya. Jeffrey terkesiap lalu mengikuti langkah kaki Gottfried masuk ke dalam gereja besar nan agung.

Bangunan arsitektur katedral ini sungguh sangat memanjakan mata tatkala memandang. Di dominasi dengan kayu jati yang indah dan lantai marmer yang sangat tinggi nilai seninya.

Patung salib yang terbuat dari lilin di ukir dan dibentuk seindah mungkin oleh ahlinya. Jeffrey tersenyum. Ia tak akan gugup lagi. Disini, ia bebas mengekspresikan diri mengadu pada Tuhannya.

Pendeta yang amat sangat mengenal Keluarga van Leander menyambut kedatangan mereka berdua. Setelah berbincang ringan, bapak dan anak ini langsung duduk dan memulai sembahyangnya.

Jefrrey menutup kedua matanya. Bibirnya ia katupkan. Pikirannya berusaha untuk berkonsentrasi dan khusyuk agar semua rapalan doanya didengar oleh sang Agung.

Batinnya sibuk merapalkan doa. Salah satu doanya, tak lupa ia menyebut nama gadis itu.

'Sehatkan Mawar. Beri ia umur yang panjang. Selalu mudahkan urusannya. Dan jangan cabut kebahagiaannya.'

oOo

Selesai bersembahyang, Jeffrey dan Gottfried langsung menuju rumah seorang Profesor yang akan mengajarkan Jeffrey mengenai PKI dan ideologinya. Butuh waktu yang tidak begitu lama, mereka sampai dan sopir mememarkirkan mobil mereka.

Keduanya turun dari kendaraan hitam itu, lalu berjalan menuju pintu utama rumah khas Eropa tersebut. Gottfried mengetuk pintu beberapa kali hingga pintu kayu tersebut terbuka menampakkan perawakan seorang pria setengah baya dengan kacamatanya.

"Ah, Mr. Leander! Masuklah, silahkan duduk." dengan ramahnya sang Profesor mempersilahkan Gottfried dan Jeffrey masuk ke dalam istana megahnya.

IroniㅣJaehyun, RosèTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang