Djakarta, Indonesia
14 September 1964"Tolong Ibuk, nak. Belikan Ibuk jahe tiga ruas." Mawar yang sedang melipat kainnya segera mengambil beberapa uang koin dari Ibunya.
"Mawar pergi beli dulu ya, Buk." pamitnya lalu berjalan menuju warung milik orangtua temannya, Laras.
"Hati-hati!" balas Ibunya setengah berteriak.
"Iya Buk!"
Setelah berjalan kaki selama sepuluh menit, Mawar sampai di warung. Siang hari ini warung tampak ramai dengan para pemuda-pemudi serta bapak-bapak yang sedang santai berbincang sembari meminum kopi hitam dan memakan beberapa gorengan.
"Laras, aku beli jahe tiga ruas, ya." pesan Mawar lalu mendudukkan dirinya dikursi panjang yang kebetulan kosong.
Laras segera menyiapkan pesanan dari Mawar, "Ibu masak apa, War?" tanya Laras sembari menyodorkan jahenya kepada Mawar yang langsung diterima olehnya.
"Aku juga gak tahu, Ras." balas Mawar. Laras menatap gadis ayu di depannya itu dengan tanda tanya di kepalanya.
"Kenapa toh?" tanyanya yang kini sudah duduk disamping Mawar.
"Tadi pagi aku dengar Bapak batuknya kambuh lagi, Ras. Mungkin Ibuk kehabisan jahe untuk bikin obatnya," keluh Mawar sembari menundukkan kepalanya.
Laras dengan rasa simpatinya menggenggam tangan Mawar dan mengelusnya berharap gadis itu bisa tenang dan tidak kalut akan pikirannya. "Yasudah, toh sudah ada jahenya. Semoga Bapakmu bisa cepat sembuh ya," dengan lemas Mawar mengganguk.
"Aamiin, Gusti. Yaudah, aku pulang dulu, Ras." pamit Mawar setelah beranjak dari duduknya dan memberikan beberapa uang koin
"Hm, hati-hati."
"Loh, Ibukmu kemana?" tanya Mawar tiba-tiba saat ia baru sadar bahwa yang sedang menjaga warung hanya Laras saja. Biasanya yang menjaga warung adalah Laras dan Ibunya. Namun kali ini tak ada suara ocehan Ibu Laras.
"Ibuk pergi kerumah majikan baru kami," jawab Laras dengan senyuman ayunya.
"Alhamdulillah, akhirnya Ibuk kamu dapat pekerjaan juga, Ras. Aku turut senang," Mawar tampak sangat berbinar saat mendengar jawaban Laras. Tampak dari matanya yang begitu bersinar.
"Iya, yaudah kamu pulang dulu. Kasian Ibukmu nunggu," Laras mendorong punggung Mawar.
"Eh, Yaudah. Aku pulang dulu, ya. Makasih, Ras!" pamit Mawar lalu berjalan menuju arah jalan rumahnya.
"Mbak, Ras aku pesen teh anget ya!" Laras yang tadinya sedang termenung menatap kepergian Mawar, terperanjat lalu bergegas membuatkan teh angat untuk pelanggan.
"Sebentar!"
oOo
"Ada yang bisa dibantu, Tuan?"
Pemuda itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari sang wanita setengah baya itu. Ia tampak ragu, namun akhirnya mengatakannya juga. "Jangan panggil saya Tuan." ucapnya yang langsung membuat lawan bicaranya kebingungan.
"Lalu saya panggil apa?"
Si pemuda tersenyum kikuk, "Panggil saja saya seperti anak Anda sendiri." jawabnya dan langsung membuat si wanita setengah baya itu tertegun sejenak.
"Ah, baiklah kalau begitu, nak Jeffrey. Ada yang perlu dibantu, nak?" tanyanya lagi sembari tersenyum, kali ini si pemuda yang tertegun akan respon tersebut.
Si pemuda yang dipanggil 'Jeffrey' itu menggeleng pelan. "Tak ada. Beristirahatlah," jawabnya dengan rasa canggung
"Saya mau belajar sebentar," lanjutnya. Si Bibi tersenyum, lalu menggangguk paham.
"Kalau nak Jeffrey ada apa-apa panggil Bibi aja, ya." Jeffrey mengangguk lalu tersenyum menatap sang pembantu rumah tangga yang baru sehari dipekerjakan oleh orang tuanya itu.
Namanya Bi Ratih. Wanita setengah baya yang mempunyai satu orang anak gadis. Beliau membuka warung sederhana dirumahnya sebelum bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah keluarga van Leander.
Nyonya van Leander langsung mempekerjaan Bi Ratih setelah dua hari kepindahan mereka ke Indonesia dari Den Haag. Keluarga van Leander awalnya tak diterima oleh masyarakat disini, karena masih was-was semenjak Belanda menjajah tanah air.
Namun tak sedikit dari mereka yang juga menerima kepindahan keluarga van Leander tersebut. Tuan dan Nyonya van Leander tak ambil pusing akan hal itu. Toh, mereka datang kesini untuk migrasi secara baik-baik. Mereka juga menjunjung tinggi nilai HAM dan perdamaian.
Hal itu diajarkan keras oleh Tuan van Leander kepada putranya. Maka sebab itulah mengapa sang putra sangat ramah kepada Bi Ratih. Hanya saja ia masih sedikit kaku serta canggung jika berbicara dengan orang pribumi, karena ini pertama kalinya ia berbicara dengan orang asing.
Setelah kepergian Bi Ratih setelah menutup pintu kamarnya, pemuda bernama lengkap Jeffrey van Leander ini membuka buku pelajarannya. Ia membacanya huruf demi huruf begitu teliti, menafsirkan serta mengolah kata demi kata diotaknya yang cerdas.
Namun setelah benerapa menit ia membaca, kepalanya terasa pening. Tenggorokannya kering serta matanya membutuhkan suasana yang segar pagi hari ini. Jeffrey beranjak dari kursinya lalu menghampiri Bi Ratih yang sedang berada di dapur untuk berpamitan karena ia ingin mencari udara segar diluar.
Setelah pamit, pemuda itu berjalan menyusuri jalan dengan kaki jenjangnya. Ia mempunyai tujuan untuk berkunjung ke warung milik Bi Ratih dan anaknya hanya sekedar menyesap secangkir kopi hitam.
Namun dijalan Jeffrey bertemu seorang gadis yang sedang berjalan sembari menyapa beberapa orang-orang yang ia lewati dengan begitu ramahnya. Gadis itu hendak melewati Jeffrey. Terlintas sebuah pikiran, apakah gadis itu akan menyapanya juga dengan keramah-tamahannya?
Kaki jenjang gadis itu terus berjalan melangkah. Beberapa detik mata mereka bertemu pandang. Sampai akhirnya sebuah suara membuat Jeffrey bagai patung lilin yang disimpan Ibunya dirumah.
"Goedemorgen,"
( selamat pagi )Bahasanya diucapkan dengan sebuah suara lembut seorang gadis pribumi. Dan mata yang berbinar serta senyuman manis mendominasi semuanya.
Jeffrey merasa ia terkena serangan jantung mendadak.
"Ook goedemorgen." susah payah ia mengucapkan balasan 'selamat pagi juga' kepada gadis itu. Bahkan matanya tak berhenti menatap si gadis sampai punggungnya menghilang diperempatan jalan sana.
"Berkatilah gadis itu, Tuhan." gumamnya mengingat wajah ayu nan kalem gadis tadi.
ooOoo
jadi, gimana menurut kalian chapter satu cerita ini?
aku butuh koreksi dan saran dari kalian, aku mohon kalau ada bahasa yang sangat dominan serta cocok untuk jaman dulu, tolong kasih tau aku ya!
aku juga lagi mempelajari semuanya, jadi mohon bantuannya 😅🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
IroniㅣJaehyun, Rosè
Fiksi PenggemarCinta mereka ditentang oleh kodrat dan perbedaan. Akankah, Jeffrey dan Mawar bisa mempertahankan cinta mereka? Atau, kodrat lebih kuat dibandingkan cinta mereka? Jung Jaehyun × Rosè Park Cerita ini berlatarkan pada tahun 1964 ㅡ Alternatif Universal...